Safrida Askariyah
Cerita Pendek
Alimuddin
Mereka berteriak girang, sementara
Safrida hanya melongok kepala sekilas dari jendela kamar rumoh inong. Di keudee
Tengku Banta Manyang ramai sekali yang tengah menonton televisi. Bangku kayu
yang berjejer di luar warung sesak dengan orang kampung.
Gaduh. Mulut-mulut beranti-anti
berkomentar. Hati Safrida masih perih. Padahal sudah banyak ia membunuh serdadu
pemerintahan. Ia dipuji panglima sebagai wanita perkasa. Wanita yang mewarisi
semangat baja Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia, Laksamana Malahayati—wanita yang
tidak mau dijajah.
Dendam itu belum tergerus. Waktu
yang bergulir tak kuasa meredam rupanya. Wanita itu sudah mencoba untuk melupa,
tapi tidak bisa! Ingatan itu begitu kuat melekat di otaknya.
Bocah kecil ribut di pekarangan
rumoh. Buah delima sedang lebat-lebatnya. Bocah bergelantungan demi mencapai
buah masak yang ada di ujung.
Kaki Safrida terseret ke
rumoh-dapu. Masyiknya entah ke mana sudah perginya. Kanot air di tungku api.
Safrida turun ke sumur, lalu mengambil baju kotor punya-nya dan masyik.
Dimasukkan ke ember hitam besar dan dipikul di atas kepala. Safrida ke
meunasah. Bocah-bocah menyapa riang Safrida yang berpapasan lewat.
"Ka damai geutanyoe, Da," tegur istri Tengku Banta
kepada melihatnya lewat. Safrida tersenyum dipaksa sambil mata melihat ke arah
televisi. Semua berita televisi berkenaan dengan perjanjian damai yang
dilakukan antara pemerintah RI dengan kelompok bersenjata Gerakan Aceh Merdeka
di Helsinki.
Hatinya perih. Bagi orang lain berita damai itu
menggembirakan, tapi baginya tidak. Damai itu tak berarti apa-apa untuk
Safrida.
Dengan langkah lamban Safrida ke meunasah. Lumayan jauh
jarak rumohnya dengan meunasah.
Suara ngaji terdengar sayup-sayup dari meunasah. Suara
mengaji si Suman merdu sekali. Subuh akan menjelang. Safrida sudah terbangun
sedari tadi.
Dan sayangnya, Safrida sama sekali tidak tahu bahwa
sebenarnya hari itu adalah hari kelabu untuk dirinya. Kisah pahitnya bermula
dari hari itu.
Pukul tujuh pagi. Ayam jantan masih ada yang berkokok
satu-satu. Desiran angin menggigil. Langit kurang bersahabat. Safrida sudah
siap-siap akan pergi ke sekolah dengan garinya.
"Mau ke mana, Da?" tanya itu berasal dari lelaki
yang berseberangan di jalan dengan Safrida.
Safrida seperti kenal betul dengan yang empunya suara itu.
Dan tabuh di dadanya tak tinggal diam. Selalu lain bila ia mendengar suara itu.
Bahkan semenjak dahulu.
"Mau ke meunasah," Safrida cepat berlalu. Manan
masih saja tampan. Masih seperti dulu. Tapi sayang, lelaki itu sudah beristri.
Padahal dulu, Manan pernah minta dirinya kepada Bapak. Dan
kata Bapak, tunggu ia tamat SMA dulu. Tapi waktu itu, tak pernah berkunjung.
Safrida sebentar lagi sampai ke meunasah.
Tiba-tiba saja pagi itu kembali bergejolak. Tembakan membabi
buta. Safrida yang sudah turun, lekas merunduk di lantai seulasa. Bapak yang
baru saja selesai mandi ikut merunduk di sampingnya. Mak dan Masyik entah di
sumur, entah pula di rumoh dapu?
Sesekali dikejutkan dengan gelegar suara bom. Dan diikuti
rentetan senapan tak berhenti. Memekakkan telinga. Menciutkan nyali. Merasai
ajal itu seperti di depan gerbang.
Untungnya tak lama reda. Safrida nekad tetap ingin ke
sekolah. Tapi Mak melarang. Takutnya ada sweeping di jalan. Gadis itu berpikir
keras. Bapak memutuskan tak jadi masuk ke kantor.
Safrida tiba di meunasah. Rupanya ada Sakdiah di sumur
meunasah yang sedang memandikan anaknya. Harus bersusah payah perempuan itu
memandikan anaknya itu. Bandel sekali bocah itu.
Begitu melihat Safrida, Sakdiah melempar senyum sekali dan
anaknya sudah lepas dari cengkeramnya.
"Sudah cukup mandi jih mak..."
"Bacut lagi, mantong kalang nyoe," tangan Sakdiah
menggosok-gosok leher anaknya. Si bocah tertawa-tawa sembari mengatakan
'geli...geli...'
Melihat kejadian itu, ada iri yang menyelusup di benak
Safrida. Di kampungnya, semua perempuan sudah menjadi ibu, selain dirinya. Tak
satu pun pria yang mau memperistri dirinya. Padahal usianya tak muda lagi.
Bagaimana pula ia punya anak? Sebagai perempuan normal, ingin sekali ia
bersuami dan punya anak. Baru sekarang Safrida merasakan kesepian. Ia butuh
suami dan anak-anak yang lucu.
"Sudah teken damai Da, ya?" Sakdiah akan pulang.
Bocah yang digendong mencium muka Maknya. Safrida mengangguk pelan. Wajah itu
beringsut lega.
Safrida ke sumur. Tangan itu mulai sibuk menimba air sumur.
Pekerjaan itu sungguh muda bagi seorang Safrida yang sering mengangkat senjata
berat dahulunya.
Safrida tersentak ketika melihat berdatangan tentara-tentara
di pekarangan rumohnya. Bapak, Mak, Masyik cepat turun dari atas rumah. Bapak
sudah bercelana, tak berhanduk seperti waktu merunduk tadi.
Suasana mencekam. Mak, Masyik lekas luruh air mata sebab
takut sekali. Salah satu tentara yang berperawakan tinggi dan hitam keling
meminta KTP Bapak.
"Kau GAM, ya?" bentak tentara itu kasar.
"Bukan Pak, saya ini rakyat biasa," Bapak tampak
gentar.
"Pasti kamu sembunyikan GAM di rumah kamu?!"
sambung kawannya juga dengan tak kalah kasarnya.
"Periksa rumah ini!"
Dan sekitar sepuluh orang tentara naik ke rumah Aceh tanpa
melepas sepatu. Empunya rumah tak berkutik. Pintu rumah disepak-sepak. Ada beberapa yang masuk
ke kroong padee. Dan para tentara itu tidak mendapatkan GAM seperti yang mereka
tuduhkan. Memang aneh sekali serdadu-serdadu pemerintahan itu, main tuduh saja
kerjanya!
Sebab Nek Yam Sudah ke Jakarta
Cerita Pendek
Alimuddin
Sudah dari dulu niat
sungguh-sungguh itu terbesit di benak Nek Yam -- ingin sekali mengunjungi
Jakarta .
Tak tahu Nek Yam sebabnya apa. Entah jin apa pula yang telah
membisikkan hasrat itu. Yang jelas, keinginan itu kian menggebu saja tiap malam
dan siang bertukar.
Jakarta menurut bayangan Nek Yam
adalah kota yang sangat indah. Seperti yang kerap disaksikannya pada teve si
Syam, tetangga dekat rumahnya -- malam hari penuh terang dengan lampu-lampu
cantik terpajang di sepanjang jalan. Pun gedung-gedung yang tingginya seratus
kali, malah lebih, dari gubuk reotnya.
Berharap sekali Nek Yam dapat
merengkuh indah itu. Ingin kakinya terjejak di tanah Jakarta itu, meski cuma sekali selama masa
hayatnya.
Sayang tapi, niat itu tak pernah terwujud. Apalagi kini kondisinya
sebatang kara setelah ditinggal mati suaminya tujuh tahun lalu. Angan itu
laksana pungguk rindukan bulan. Semasa ada suaminya pun, angan itu tak sanggup
terjelma, apalagi tanpa lelaki itu kini.
Namun, lintas hidup seorang manusia tak dapat diterka oleh
siapa pun. Nek Yam tak pernah menyangka jikalau hasratnya itu bisa terkabul
juga akhirnya. Manakala usianya kian uzur pula.
Kala itu, tanah kelahiran Nek Yam, Tanoh Seuramoe Mekkah, ditimpa
bencana teramat dahsyat. Banyak orang menyebutnya
'tsunami'.
Tsunami adalah air bah hitam yang
berarus kuat dan mempunyai ombak yang sungguh tinggi. Cerita orang yang sempat
melihat langsung, tinggi ombak itu nyaris sepadan dengan tiga kali tiang
listrik. Mengerikan!
Tsunami itu telah meratakan sejajar
tanah seluruh perumahan di tanah Aceh. Gubuk reot Nek Yam, yang berlokasi di
Alue Naga, tak luput dari terjangan air bah hitam itu. Nek Yan beruntung meski,
saat naas itu datang, kebetulan sosok itu tengah berada di Tanjung Selamat --
salah satu kawasan yang tak terjamah tsunami. Jika tidak, mungkin tubuh Nek Yam
termasuk salah satu dari ratusan ribu manusia yang telah dipanggil oleh-Nya
dalam tempo sekitar tujuh menit.
Empat hari baru usia bencana itu,
manakala Nek Yam menjejakkan sepasang kakinya kembali ke Alue Naga, ingin
melihat kondisi gubuk mungilnya. Namun hanya hampa yang terbentang luas di sana. Tanpa satu sisi
rumah pun
.
Seluruhnya telah dijarah paksa oleh tsunami.
Terpaku Nek Yam menatap pemandangan
langka itu. Berdiri di manakah dia, tak tahu Nek Yam, sebab halaman di Alue
Naga tak lagi berbatas pagar ataupun lainnya. Pun Nek Yam tak tahu juga di mana
bekas rumahnya dulu. Tampak tersatukan semuanya.
Lama keterpakuan itu menaungi tiap inci dari tubuh senja Nek
Yam. Pikiran itu terbayang panjang. Melamun, tak sadar hadir sendiri. Desah
nafas berat berantrian sesak untuk mengudara.
Baru tersentak Nek Yam tatkala
mampir tepukan halus di pundaknya. Menoleh lekas Nek Yam, ternyata seorang
gadis muda cantik yang telah menepuk pundaknya barusan.
Terjadi percakapan serius di antara dua wanita yang berbeda
generasi itu. Untung Nek Yam mahfum dengan bicara perempuan yang menggunakan
bahasa Indonesia itu, meski wanita senja itu tak terlalu fasih bercakap dalam
bahasa itu. Dari pembicaraan itu tahulah Nek Yam, kalau perempuan muda itu
bernama Leni Marlina. Non Leni, begitu Nek Yam menyapa gadis itu, atas suruhan
gadis itu sendiri. Tahu juga Nek Yam, bila Non Leni itu datang dari Jakarta.
Manakala mendengar Jakarta, angan Nek Yam kembali terbit setelah
terselubung banyak hal sebelumnya. Ingin sekali Nek Yam bersimpuh di hadapan
gadis yang sepertinya belum menikah itu, memohon agar sosok itu membawanya ke Jakarta saat dia pulang ke sana nanti.
Malu tapi Nek Yam untuk melakukan itu, sebab gadis itu bukanlah
apa-apanya. Kenal pun, dalam tempo singkat. Niat itu akhirnya hanya terbiarkan
terkubur jauh di dalam relung hati Nek Yam. Saat perjumpaan untuk kali kedua
dengan gadis itu, juga di Alue Naga, nurani Nek Yam masih serupa -- sungguh
ingin mengeluarkan unek terpendamnya. Tapi kembali ganjal itu tak sanggup
teterbangkan juga.
Hari ke sembilan setelah tsunami,
pertemuan itu berulang. Lama keduanya berbicara lebar. Gadis itu bertanya
tentang keluarga Nek Yam. Nek Yam agak tersendat menggulir cerita. Dia mengatakan
bahwa dirinya sudah lama hidup sebatang kara. Tanpa suami dan juga anak.
Perempuan itu tampak terkejut mendengar penuturan Nek Yam.
Juga gadis itu menanyakan, akan kemanakah Nem Yam setelah rumahnya tak lagi
ada. "Mungkin saya akan tinggal di pengungsian." Untuk kedua kalinya,
gadis muda itu tampak terkejut mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Nek
Yam. Terbisu sesaat. Entah hal apa yang tengah berkecamuk dalam pikiran gadis
itu.
"Ibu mau ikut saya ke Jakarta?" tak dinyana rangkai kata itu
terlontar dari mulut gadis di depan Nek Yam.
Andaikata masih kuat, maunya Nek Yam berjingkrak-jingkrak
saat kupingnya menangkap bunyi barusan.
"Apa, Non?" takutnya Nek Yam salah dengar.
"Apa ibu mau ikut saya ke Jakarta?" tak salah rupanya indera
pendengaran Nek Yam.
Tak menunggu ulang untuk ketiga
kalinya, sebuah anggukan cepat dan beriring senyum paling bahagia, terpasang di
kepala Nek Yam.
Nek Yam diajak ke Jakarta!
Berangkatlah Nek Yam dan gadis muda itu ke Jakarta dengan menggunakan pesawat
terbang kelas paling ekslusif. Luar biasa senangnya Nek Yam bisa berada di
dalam tranportasi udara itu. Selama di perjalanan, tak henti perempuan senja
itu berceloteh kegirangan. Tiba di
Jakarta, girang Nek Yam total sudah -- tak menduga sama sekali bila tanah kota
impiannya berada di bawah sepasang telapak kakinya kini. Seperti sedang
bermimpi saja rasanya. Teriak kagum keras terdengar dari mulut Nek Yam manakala
gadis muda itu menunjuk ke arah bangunan tinggi besar sebagai rumahnya
Pembuat
Kubah dan Tukang Pos
Cerita Pendek Adek
Alwi
Ia lelaki tua pembuat kubah yang bekerja setelah
fajar dan berhenti saat pudar matahari. Tujuh hari sepekan, tiga puluh hari
sebulan, dise- ling kegiatan lain yang tak dapat diabaikan: makan, tidur, ke
masjid tiap Jumat, bersapaan dengan tetangga atau kenalan yang lewat.
Juga dengan tukang pos muda yang
selalu berhenti di tepi jalan di luar pagar halaman.
Tiap kali sepeda motor tukang pos itu terdengar, si tua itu
akan menelengkan kepala yang nyaris botak serta beruban. Menegak-negakkan
punggung yang bungkuk, mendekat tertatih-tatih.
"Wah. Kosong, Pak Kubah!" sambut tukang pos.
"Kosong?"
"Mungkin besok," suara tukang pos seperti
membujuk.
"Ya, mudah-mudahan." Pembuat kubah itu manggut-manggut.
"Banyak surat
diantar hari ini?"
"Lumayan, Pak Kubah. Semoga isinya pun berita
gembira."
"Mudah-mudahan. Menyenangkan dapat menggembirakan
orang, Pak Pos."
"Tapi awak hanya tukang pos, Pak Kubah."
"Hehehe. Tidak ada Pak Pos kegembiraan malah tak sampai."
"Terima kasih. Mudah-mudahan besok giliran Pak
Kubah."
Tukang pos itu selalu berhenti di luar pagar meski tahu
tidak ada surat
untuk laki-laki tua itu. Pembuat kubah itu tidak punya siapa-siapa dalam
hidupnya. Kecuali tetangga, pemesan kubah, orang lepau tempat makan serta
penjual bahan untuk kubah.
Istrinya meninggal belasan tahun
lalu. Satu-satunya anaknya, lelaki, mati waktu kecil. Tetapi si tua itu
mengesankan seolah anak itu masih ada, sudah dewasa, dan merantau seperti
lazimnya anak-anak muda kota
itu. Begitu didengar si tukang pos muda waktu baru bertugas di kota itu, menggantikan tukang pos tua yang
kini pensiun.
"Kurang waras?" tukang pos muda itu bertanya pada
tukang pos tua.
"Tidak. Malah ramah, juga rajin. Kerja sejak pagi,
berhenti menjelang magrib. Bayangkan. Tiap hari begitu, berpuluh tahun."
"Sejak muda membuat kubah?"
"Kata orang, sejak kecil," ujar tukang pos tua.
"Langganannya tidak cuma dari kota
ini saja. Dan tak pernah dia pasang tarif."
"Maksud Bapak?"
"Ia hanya menyebut modal pembuat kubah. Terserah, mau
dibayar berapa."
"Wah!"
"Punggungnya pun tambah bungkuk tiap selesai bikin
kubah." Tukang pos muda itu kembali melongo. "Maksudnya
bagaimana?" "Punggung pembuat kubah itu," kata tukang pos tua
menjelaskan. "Tiap kali selesai membuat kubah tampak makin lengkung,
sehingga mukanya seperti mendekat terus ke tanah. Seolah-olah ingin mencium
tanah!"
Mungkin karena cerita-cerita itu,
atau iba pada kesendirian lelaki tua itu serta takjub melihat ketabahannya
menanti surat yang tak kunjung tiba, si tukang pos muda akhirnya mengabulkan
permintaan tukang pos tua. Kecuali hari libur dan Minggu ia berhenti di pinggir
jalan, mengucapkan tidak ada surat
dan bicara sejenak dengan si pembuat kubah. Saat ia melaju lagi di jalan
dilihatnya lelaki tua itu kembali bekerja. Punggungnya lengkung, amat lengkung
tak ubahnya batang-batang padi.
"Nah! Betul, kan
?" sambut tukang pos tua ketika tukang pos muda itu bertamu sore-sore dan
bercerita.
Tukang pos muda itu membenarkan. "Tapi kenapa bisa
begitu?" tanyanya.
"Tidak ada yang tahu. Sejak tugas di kota ini saya dapati seperti itu. Boleh jadi
hanya pembuat kubah itu sendiri yang tahu."
"Tidak pernah Bapak tanya?"
"Tak tega saya. Dia baik dan ramah sekali," jawab
tukang pos tua. "Saya cuma singgah tiap hari, bicara sebentar saling
bertanya kabar, lalu bilang tidak ada surat
dan mungkin besok."
Tetapi tukang pos muda itu tega bertanya. Dan pembuat kubah
tua itu terkekeh mendengarnya. "Ada-ada saja," katanya. "Padi
memang begitu, Pak Pos. Eh mestinya hati manusia juga, ya. Tetapi punggung saya,
hehehe, ada-ada saja Pak Pos Tua dan orang-orang itu."
"Jadi Pak Kubah sama sekali tidak merasa, bahwa
punggung,"
"Hehehe. Punggung ini tentu tambah bungkuk, Pak Pos.
Maklum, makin tua. Agaknya setua ayah Pak Pos. Ah, tidak. Pasti saya lebih tua.
Pasti. Tapi anak saya ya, anak saya mungkin sebaya Pak Pos. Eh, belum ada surat dia?"
"Oh. Belum, Pak Kubah. Kosong. Mudah-mudahan
besok."
"Ya, ya. Mudah-mudahan." Pembuat kubah itu
manggut-manggut.
Sejak itu si tukang pos muda
berhenti di pinggir jalan di luar pagar si pembuat kubah. Tidak kecuali libur
atau Minggu. Apalagi sebagai orang baru di kota itu belum banyak dia punya kenalan,
untuk kawan berbincang seusai kerja atau saat senggang. Ibunya di kampung sudah
mencarikan gadis buat pendamping hidupnya, dan tukang pos muda itu pun telah
setuju, tetapi belum berani melamar mengingat gaji yang tak memadai untuk hidup
berdua. Dia juga tidak mendamba yang muluk-muluk. Tapi, menurutnya, hidup dalam
perkawinan seyogianya lebih baik daripada saat sendiri. Kadang tukang pos itu
juga memarkir sepeda motornya di halaman merangkap bengkel lelaki tua itu,
hingga mereka leluasa bercakap-cakap. Pembuat kubah itu pun senang ditemani.
Kadang-kadang, meski dicegah si tukang pos dia berteriak ke lepau seberang
jalan memesan dua gelas the juga pisang goreng, lalu bercakap-cakap sambil
minum teh serta menyantap pisang goreng.
Mawar Biru Untuk Novia
Cerita Pendek Ahmadun
Y Herfanda
Udara seperti membeku di Adelweis
Room, sebuah kamar rawat inap, di RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Dan, di tempat
tidur yang serba putih, Novia terbaring beku dalam waktu yang juga membeku. Ia
tidak berani menghitung lagi berapa kali jarum jam di ruangan itu melewati
angka dua belas, makin mendekati ajal yang bakal menjemputnya.
Dokter telah memprediksi usianya
tinggal sekitar sebulan karena leukimia yang akut, dan satu-satunya yang ia
tunggu dari kekasihnya adalah sekuntum mawar biru. Ya, mawar biru. Bukan mawar
merah atau putih. Dan, hanya sekuntum, bukan seikat atau sekeranjang.
Tapi, adakah mawar berwarna biru?
Sang kekasih, Norhuda, sebenarnya tidak yakin. Yang pernah ia lihat adalah
mawar merah, putih, atau kuning. Ketiganya tumbuh dan berbunga lebat di halaman
rumahnya. Tapi, mawar biru? Ia tidak yakin. Bunga berwarna biru yang pernah ia
lihat hanya anggrek bulan dan anyelir. Itupun bukan persis biru, tapi keunguan.
“Apa kau yakin ada mawar berwarna biru, Sayang?”
“Aku yakin. Aku pernah melihatnya.”
“Bukan dalam mimpi?”
“Bukan. Di sebuah
taman. Tapi, aku lupa taman itu. Rasa-rasanya di Jakarta.”
Norhuda terdiam. Dari bola matanya terpancar keraguan, dan
itu ditangkap oleh Novia.
“Carilah, Sayang. Jangan ragu-ragu. Hanya itu yang aku pinta
darimu, sebagai permintaan terakhirku. Carilah dengan rasa cinta.” Novia
berusaha meyakinkan.
Maka, dengan rasa cinta,
berangkatlah Norhuda mencari sekuntum mawar biru permintaan kekasihnya itu. Ia
langsung menuju taman-taman kota Jakarta, dan menyelusuri
seluruh sudutnya. Tidak menemukannya di sana,
ia pun menyelusuri semua taman milik para penjual tanaman hias dan toko bunga.
Bahkan ia juga keluar masuk kampung dan kompleks perumahan serta real estate ,
memeriksa tiap halaman rumah dan taman-taman di sana. Berhari-hari ia bertanya-tanya ke sana kemari, mencari
mawar berwarna biru.
“Bunga mawar berwarna
biru adanya di mana ya? Aku sedang membutuhkannya!” tanyanya pada seorang
mahasiswa IPB, kawan kentalnya.
“Ah, ada-ada saja
kamu. Biar kamu cari sampai ke ujung dunia pun enggak bakal ada.”
“Tapi, Novia pernah
melihatnya.”
“Bunga kertas kali!”
“Jangan bercanda! Ini
serius. Usia dia tinggal dua minggu lagi. Hanya sekuntum mawar biru yang dia
minta dariku untuk dibawa mati.”
“Kalau memang tidak
ada harus bilang bagaimana?”
Norhuda lemas mendengar jawaban
itu. Ia sadar, siapa pun tidak akan dapat menemukan sesuatu yang tidak pernah
ada, kecuali jika Tuhan tiba-tiba menciptakannya. Tapi bagaimana ia harus
meyakinkan Novia bahwa mawar itu memang tidak ada, selain dalam mimpi.
Jangan-jangan ia memang melihatnya hanya dalam mimpi?
Angin Menabuh Daun-daun
Cerita Pendek M.
Arman AZ
Putri terbangun ketika malam telah
bertengger di puncaknya. Dinyalakannya lampu kamar. Pukul dua dini hari. Di
luar sana, kesunyian telah sempurna mengepung kota. Sayup-sayup
terdengar suara tiang listrik dipukul seseorang. Digelitiki rasa penasaran,
Putri melangkah menuju ruang tamu. Instingnya mengatakan ada kesibukan di sana. Tebakannya tak
meleset. Dia mendapati Bapak masih bergelut dengan pekerjaannya. Kertas-kertas
berserak di meja dan lantai. Ada
bukit kecil di asbak, terbuat dari puntung-puntung rokok. Tiga gelas kopi yang
sudah kosong, beku di dekat Bapak.
Putri memandangi sosok lelaki yang
hanya mengenakan kaos oblong dan kain sarung itu. Dia tidak sadar kalau
kacamatanya telah melorot ke hidung. Wajahnya tegang. Sekali waktu, jemarinya
meniti huruf demi huruf di depan matanya. Begitu bersemangatnya dia, hingga tak
sempat menyadari bahwa ketukan yang ditimbulkannya telah melahirkan nada yang
tersendat-sendat, yang hampir tiap malam merusak kenyamanan tidur anaknya.
Sekejap kemudian, dia menghentikan ketikannya. Diam mematung, tapi pikirannya
seperti meraba dalam kegelapan. Mengetik lagi. Melamun lagi. Begitu
terus-menerus. Ah, Bapak, desis Putri dalam hati.
Mesin tik tua itu sangat berharga
bagi Bapak. Suatu hari, beliau pernah berkata bahwa dia lebih mencintai mesin
tik itu ketimbang dirinya sendiri. Pendapat yang berlebihan, menurut Putri.
Tapi, kalau sudah melihat bagaimana Bapak memperlakukan mesin tik itu, Putri
benar-benar trenyuh. Inilah jalinan cinta terunik yang pernah dilihatnya.
Sejujurnya, Putri sudah jenuh mendengar sejarah mesin tik itu. Sudah
berkali-kali Bapak mengulangnya. Benda itu dibelinya dengan harga miring di
pasar loak. Manakala kisahnya sampai pada asal-muasal uang untuk membeli mesin
tik itu, makin berbinarlah mimiknya. Ya, ya, Putri sudah hafal luar kepala.
Dari hasil menyisihkan honor tulisan, akhirnya dia bisa memiliki mesin tik yang
lama menggoda dalam mimpinya.
Begitulah. Mungkin usia mesin tik
itu jauh lebih tua dari Putri yang kini duduk di bangku sekolah menengah umum.
Setiap melihat mesin tik itu, Putri seperti melihat sosok seorang pensiunan
tua. Di sisa hidupnya, tidak semestinya dia masih bekerja membantu Bapak
menghasilkan tulisan-tulisan. Gudang adalah tempat yang nyaman untuk benda
antik itu.
Tapi tidak. Bapak sungguh telaten
merawat mesin tik itu. Sejarah, mungkin, membuat cinta Bapak tak pernah layu.
Sudah beberapa kali Bapak mereparasi kekasihnya itu. Tahun-tahun belakangan
ini, dia mulai rewel. Ada
saja kerusakan yang terjadi, seperti pita yang kerap lepas dari tempatnya atau
huruf yang tercetak miring. Tapi, Bapak sabar meladeninya. Jika dia merasa
sanggup memperbaiki kerusakan itu, pasti dikerjakannya sendiri. Kalau dia
menyerah, dia tidak sungkan membawanya ke tempat servis.
*****
Akhirnya, bayangan yang Putri takutkan itu menjadi
kenyataan. Guru-guru di sekolah membuktikan ancamannya. Mulai hari ini mereka
menggelar aksi mogok mengajar sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Ini
benar-benar sebuah mimpi buruk. Bagaimana tidak, semua guru di kotanya, bahkan
di kota-kota lainnya, serempak melakukan aksi serupa. Mereka bersikeras agar
pemerintah pusat merealisasikan tuntutan mereka. Ah, begitu banyak cara
menyikapi suatu persoalan. Inilah pilihan terbaik di antara yang terburuk.
Seumpama macan yang terusik
tidurnya, guru-guru di sekolah Putri menggeliat dari kepasrahan yang lama
melilit mereka. Mulai hari ini, hampir seluruh sekolah di negeri Putri lumpuh
total. Tidak ada kegiatan belajar mengajar. Guru-guru mogok massal. Sejak pagi
hingga siang hari, orang-orang dipaksa menyaksikan pemandangan yang entah
heroik atau menyedihkan itu. Guru-guru dengan pakaian korps lengkap,
berbondong-bondong menuju gedung wakil rakyat. Mereka ingin menyampaikan
aspirasi di sana
. Mereka masih sempat tersenyum dan memekikkan yel-yel, tapi sesungguhnya air
mata menetes dalam batin mereka.
Daging di Meja Makan
Cerita Pendek M.
Arman AZ
JALAN-JALAN sepanjang kota itu
menempati ruang istimewa dalam hati Sumarno, begitu juga sebaliknya.. Berpuluh
tahun dia jadi saksi perubahan zaman yang terjadi di kotanya. Andai saja tiap
ruas jalan itu punya jemari, tentu nama Sumarno akan mereka catat dengan tinta
emas lalu di bingkai dalam sejarah. Tapi apalah artinya jelata seperti Sumarno,
yang kaumnya cuma bisa pasrah dan tabah ketika dijadikan tumbal oleh para
penguasa. Sebagai tukang sapu jalan, dia cukup tahu diri untuk membusungkan
dada atau mengabarkan pada setiap orang bahwa ia adalah pahlawan. Lelaki tua
berbadan kecil, bungkuk, ringkih dan mulai sakit-sakitan itu hanya percaya
bahwa sebagian besar kenangan tentang pergulatan hidupnya telah disumbangsihkan
untuk jalan-jalan yang hingga saat ini tak seluruhnya mampu ia ingat namanya.
Pagi buta. Sumarno sudah siap
menjalankan rutinitas sehari-hari. Dengan senjatanya: sapu lidi, karung goni
kumal, dan seragam yang sudah tidak layak membungkus tubuh; Sumarno bak serdadu
yang siap bertempur ke medan
perang. Dia pergi diam-diam tanpa pamit pada istri atau anak-anaknya. Tak tega
ia membangunkan mereka. Biarlah anak beranak itu tersenyum dalam mimpi indahnya
masing-masing, sebab cuma tinggal mimpilah yang bisa mereka miliki secara
gratis.
Berjalan menyusuri kota yang masih
pulas, Sumarno ingat kemarin ada demo lagi. Ribuan orang tumpah ruah di jalan.
Entah apalagi yang mereka tuntut. Bagi Sumarno, usai pesta rakyat itu berarti
tumpukan sampah berserak di mana-mana, dan dia bertanggung jawab membersihkannya.
Sumarno pernah ngedumel. Apa mereka tidak sadar kalau ulah mereka membuat
bebannya tambah berat? Tapi siapa yang peduli pada Sumarno. Apalah artinya
keringat tukang sapu jalan, dibanding niat tulus para demonstran yang, konon,
demi masa depan bangsa. Toh, sampah-sampah itu tetap harus dilenyapkan.
Atasannya pernah memuji peran Sumarno dan rekan-rekan seperjuangannya. Karena
jasa merekalah kota
itu bisa mempertahankan Adipura untuk kelima kalinya.
Meski cuma tamatan SD, Sumarno tahu
lingkungan kotor membuat hidup tak nyaman. Apa jadinya kota yang hiasi sampah? Para pejabat pasti
malu bukan kepalang kalau turis-turis bule yang mampir menganggap sampah
sebagai ciri khas kota
itu. Sumarno pun maklum kalau sampah jadi barang haram di kota itu. Tapi Sumarno manusia, bukan robot
atau binatang. Dalam tubuhnya ada jiwa dan hati nurani. Maka, dalam hati sering
dia memaki, ‘'Apa pejabat-pejabat itu juga ngerti kalau aku ini orang miskin?
Yang aku butuhkan itu uang! Bukan pujian! Bukan penghargaan! Aku perlu uang,
untuk mengganjal perut anak istriku! Heh, apakah mereka itu manusia juga?''
***
SUMARNO duduk terpekur di trotoar
jalan. Dia ingin istirahat barang sejenak. Sudah ratusan meter dia menyapu
jalan. Keringat menyembul satu-satu dari pori-pori kulitnya. Gelas plastik,
koran, bungkus nasi, poster-poster, bungkus rokok, dan spanduk-spanduk, masih
bertaburan di depan matanya. Di mana para demonstran itu sekarang? Mereka pasti
masih ngorok ditemani mimpi-mimpi muluk tentang negeri mereka. Omong kosong
mereka semua itu! Batin Sumarno memaki di antara dengus nafasnya. Semenjak sang
raja di depak jatuh, kiai jadi presiden, sampai kaum hawa jadi penguasa, toh
nasib tukang sapu tidak bergeser sesenti pun. Aku tetap orang kere, pikirnya.
Entah dari mana datangnya, kesadaran
Sumarno membentur sekelumit kenangan masa kecil di kampungnya dulu. Almarhum
Emak selalu mengingatkan Sumarno untuk selalu bangun pagi. ‘'Biar rezekimu
tidak di patuk ayam,'' begitu kata almarhum emaknya. Membandingkan nasehat itu dengan kondisinya
saat ini, Sumarno tersenyum getir. Dari dulu sampai sekarang, dia memang tidak
pernah telat bangun pagi. Dia malah sering bangun lebih cepat dari kokok ayam.
Tapi, kalau soal rezeki, kenapa dia selalu kalah cepat dengan binatang bertaji
itu?
Sejak dulu hingga zaman —yang kata
orang-orang— reformasi ini, Sumarno tetap seorang kacung yang gajinya mentok
untuk makan seminggu. Untuk makan selanjutnya harus diperjuangkan sendiri. Jadi
makelar, pesuruh, atau apa saja asal menghasilkan uang halal. Untung istri dan
empat anaknya bukan tipe manusia yang banyak menuntut. Giyarsih, istrinya, jadi
tukang cuci di perumahan dekat gubuk mereka. Upahnya lumayan. Keempat anak yang
masih kecil-kecil itu pun sudah ditempanya jadi manusia yang gagah menghadapi kemelaratan.
Si Mardi, putra sulungnya, jadi penjual koran setelah putus sekolah. Sementara
Barkah, anak kedua, tak pernah mengeluh meski jadi penyemir sepatu. Mungkin dua
anaknya yang lain, Sumiati dan Lestari, bakal menyusul jejak kedua kakak mereka
lulus SD nanti. Bisa baca tulis saja sudah cukup, biar kelak tidak gampang di
kelabui orang pintar.
Begitulah, anak beranak itu jadi
tulang punggung bersama keluarganya. Setiap malam, uang hasil memeras keringat
itu disatukan dan esok paginya dibelikan beras serta lauk pauk ala kadarnya.
Tak pernah ada menu daging di meja makan itu. Kalau lebaran tiba atau tetangga
sedang ada kenduri, barulah mereka bisa merasakan makan enak. Di sela-sela
kesedihan, mereka masih bisa tersenyum jika melihat salah seorang di antara
mereka meneteskan air liur dari ujung bibir, lalu menghisapnya lagi
dalam-dalam, saking menikmati sepotong daging yang demikian lezatnya.
***
DARI hari ke hari, kehidupan di
kota itu semakin bertambah kejam. Kekerasan yang terjadi di tiap sudut kota dan menyebar hingga
pelosok negeri adalah hantu yang tak lagi ditakuti. Pembunuhan, perampokan,
perang saudara, pertikaian antar elite, dentuman bom, dan rentetan peluru,
sudah dianggap klise. Semua orang seperti sepakat bahwa kekerasan tak ada
bedanya seperti menonton telenovela, kuis, atau sinetron yang mengumbar
kemewahan.
Aroma kekerasan yang mengepung
negeri itu pun menyergap keluarga Sumarno. Lewat televisi hitam putih,
satu-satunya aset berharga milik mereka, anak beranak itu terbiasa di suguhi
berita kekerasan yang up to date. Anak Sumarno akan berdecak kagum ketika
melihat berita demo-demo yang berujung adu jotos. Kekaguman mereka bakal
bertambah tensinya begitu melihat darah berceceran di mana-mana. Sumarno dan
istrinya tak ketinggalan. Ketika menyaksikan mimik pengungsi yang kebingungan
sambil menangis, atau sosok politikus yang sedang berkicau merdu dan nyaring,
mereka selalu tertawa terbahak-bahak. Di mata mereka adegan itu sungguh
menggelikan.
Purnama Dibalik Cadar
Cerita Pendek Ahmadun
Y Herfanda
Aku seperti melihat cahaya di balik
cadar. Cahaya yang begitu kuat, menembus kain hijau lumut penutup wajah gadis
semampai itu. Karena kuatnya, kadang-kadang cahaya itu menelan cadar sang gadis
dan menyembullah bulatan bercahaya benderang bagai purnama menyelubungi
kepalanya.
Hari itu, gadis bercadar tersebut
berada di tengah diskusi tentang emansipasi wanita di Ibnu Sina Auditorium,
Universitas Al Azhar, Kairo. Sejak memasuki ruang diskusi, ia sudah memancarkan
pesona tersendiri. Ia tampak tinggi semampai, jauh lebih tinggi dari rombongan
gadis-gadis berjilbab yang masuk bersamanya. Cara jalannya juga gemulai, dengan
sepatu berhak tinggi yang kadang-kadang menyembul di bawah jubah hijaunya.
''Dia Salma Audina, dari Bandung,'' kata kawan di sebelahku,
seorang mahasiswa Al Azhar, tahu aku memperhatikan gadis itu.
''Apa dia aktifis Ihwanul Muslimin, Darul Arqam, Mujahidin,
atau kelompok garis keras lain,'' tanyaku.
''Kabarnya memang aktifis, tapi tidak jelas dari kelompok
mana. Dia kuliah S-2 di filsafat Al Azhar. Baru sebulan di sini.''
''Tapi kenapa pakai cadar? Anak-anak filsafat biasanya
liberal.''
''Aku pernah tanyakan itu padanya. Dia bilang, itu cara dia
melindungi dirinya dari tatapan mata lapar laki-laki.''
Melihat matanya yang mempesona,
dengan bulu-bulu mata yang lentik, kubayangkan wajah gadis itu sangat cantik.
Tapi, bagaimana jika bibirnya sumbing, atau pipinya bertembong? Ah, apa
peduliku. Aku memang sedang mencari calon istri, karena sudah terlalu lama
membujang. Kuliah pasca-sarjanaku sudah selesai, dan gajiku sebagai kabag
pendidikan KBRI sudah cukup untuk hidup berumah tangga di Kairo. Tapi, mengapa
aku mesti repot menebak-nebak wajah di balik cadar itu? Mahasiswi Indonesia yang
cantik, dan tidak bercadar, cukup banyak di Kairo.
Ketika aku masih sibuk dengan
pikiranku sendiri, tiba-tiba nama Salma disebut oleh moderator sebagai salah
seorang penanya yang dipersilakan maju ke depan. Benar, gadis bercadar itu
dengan cekatan berdiri dan melangkah ke depan. Dan, masya Allah , suaranya
merdu sekali, tapi tetap tangkas menyusun pemikiran-pemikirannya dalam
kalimat-kalimat yang jelas. Dan, ternyata pemikiran-pemikirannya sangat
liberal, khas anak filsafat. Ia gugat sistem poligami, yang secara abadi
menempatkan perempuan sebagai pelengkap laki-laki. Ia gugat kultur Islam yang
masih menempatkan laki-laki sebagai pusat kekuasaan. Ia sebut contoh-contoh
kaum perempuan yang menjadi korban laki-laki. Ia sebut Perempuan di Titik Nol Nawal El Sadawi, ia
sebut Kartini, ia sebut pula Rabiah al Adawiyah yang tak sudi dijajah laki-laki
dan lebih memilih menyerahkan seluruh cintanya pada Tuhan.
Saat itulah aku mulai melihat ada
purnama di balik cadarnya. Cahaya itu mula-mula samar-samar, lama-lama makin
jelas, seirama tekanan-tekanan pemikirannya, dan akhirnya menyelubungi seluruh
kepalanya. 'Ah, mungkin aura kecerdasannya begitu kuat, sehingga muncul
sepenuhnya saat berbicara,' pikirku.
''Aku melihat purnama di balik cadarmu,'' kataku seusai
diskusi, setelah menghampirinya di lobi auditorium.
Gadis semampai itu tidak menjawab. Hanya mata indahnya
menatapku, melempar sejuta pertanyaan. Tapi, aku yakin, perempuan cerdas itu
bisa meraba maksudku.
Suatu pagi, aku bertemu lagi dengan gadis bercadar itu.
Kulihat dia sedang mancari-cari buku pada rak buku filsafat perpustakaan
kampus. Dan, memang ke rak itu pula tujuanku.
''Hai, gadis yang punya purnama,'' tegurku.
''Hai, Pak Imran,'' Dia tampak agak terkejut. Tapi, aku
bersyukur, dia ingat namaku.
''Sedang cari buku apa?''
''Buku Annemarie Schimmer. Aku suka baca buku-buku
tasawuf.''. ''Bagus itu.''
Kami lantas sama-sama asyik mencari buku. Salma memutari rak
untuk menemukan yang dicarinya. Aku sendiri asyik membuka-buka beberapa buku
sambil tetap berdiri di sisi rak.
''Mas Imran....''
Tiba-tiba suara Salma
mengejutkanku. Ia sudah ada di sebelahku. Aku menoleh dan kami saling
berpandangan beberapa saat. Ada
pesona yang luar biasa di mata birunya yang bening bagai telaga. Sesaat jiwaku
seperti berenang di kesejukannya. Kemudian seperti ada getaran lembut yang
menyusup ke hatiku, mungkin juga hatinya, karena ia lantas menunduk tersipu.
Pertemuan kami cukup singkat,
karena dia segera pamit untuk siap-siap pergi ke Jerman guna mendaftar kuliah
di sana. Kemudian, ia mau ke London dan ke Afghanistan . Tapi,
mengapa ke Afghanistan
? Bukankah di sana
sedang terjadi pengeboman terhadap markas Alkaidah oleh AS. Ibukota Afghanistan, Kabul, juga terancam jadi sasaran bom.
Perburuan terhadap Osamah ben Laden sedang digencarkan oleh AS beserta
sekutunya. Juga kampanye anti-terorisme dengan menyudutkan kelompok-kelompok
Islam garis keras.
Tiba-tiba aku mengkhawatirkan
keselamatan gadis bercadar itu. Apalagi, pasca-tradegi menara kembar WTC, umat
Islam dimusuhi di banyak negara kulit putih. Dengan pakaian seperti itu, Salma
pasti gampang menjadi sasaran. Apalagi ia mau pergi ke Afghanistan,
bisa-bisa kena tuduhan ada hubungan dengan jaringan Alkaidah. Tapi, bagaimana
aku dapat mencegahnya, karena dia 'manusia bebas' yang memiliki pikiran dan
rencana sendiri.
Kalau Lelaki Itu Pulang...
Cerita Pendek Adek
Alwi
Jika lelaki itu pulang ke kota
kami, tidak akan dilihatnya lagi kakak duduk termenung di muka jendela,
memandang gunung ataupun kejauhan tiada batas. Paman Jafar telah membawa kakak
ke Pakanbaru bulan lalu dan ibu melepasnya dengan lega berurai air mata. ”Elok-elok
di sana,” pesan
ibu. ”Paman dan bibi akan menjagamu. Kau akan dimasukkan kerja. Engkau akan
mengajar lagi nanti, Nak. Kau senang dapat mengajar lagi, bukan?”
Kakak diam saja. Hanya memandang.
Lurus. Kosong, jauh. Lebih-lebih kalau duduk depan jendela. Angin kadang
memburai-burai rambutnya sampai masai, namun kakak bergeming. Matanya terus
menerawang ke cakrawala. Wajahnya tambah putih, kian lesi. Tidak jarang air
matanya merambat sepanjang pipi. ”Kakak! Kakak!” adik-adik mengimbau, berlari
mendekati, memeluk, serta menarik-narik tangannya. Kakak tak hirau.
Tetapi ibu terus bicara. Ibu bilang
kami juga harus sering bicara dengan kakak, menyeru namanya. ”Tapi kakak diam
saja,” kata adik-adik. ”Seperti tak mendengar.”
”Kakak mendengar,” ujar ibu. ”Dia sayang sekali kepada
kalian.”
”Mengapa kakak tidak menyahut?” adik terkecil bertanya
kepada Kak Lela.
”Kakak sedang malas bicara,” jawab Kak Lela. ”Ajaklah terus
berkata-kata.”
”Malas bicara, seperti kalau aku ngambek?”
”Ya. Begitu.”
Sambil lambat-lambat menyisir
rambut kakak yang sepinggang ibu berucap, ”Ai, ai, harum dan bagus sekali
rambutmu, Mariani. Ikal. Legam. Ah, tidak elok kita terus mengenang yang
sudah-sudah sampai rambut tak terurus. Itu, paman dan bibimu tiba, Nak.
Salamilah paman dan bibimu.”
Kakak tetap tidak beringsut. Sudah
lama kakak serupa patung hidup. Sejak dia tidak jadi mengajar, disusul perginya
lelaki itu sembari mengembalikan cincin belah-rotan, tanda pertunangan—tak lama
sesudah ayah ditangkap kemudian lenyap entah di mana dan di tangan siapa.
Orang terlalu banyak saat itu
mengurung rumah. Membawa ayah. Seolah-olah beliau orang penting, padahal hanya
masinis kereta api. Bukan kepala stasiun. Apalagi pengurus ataupun ketua
organisasi buruh DKA. Sedang kami hanya bisa memandang, bertangisan. ”Ayaaah!
Ayaaah!” kakak meraung-raung mengimbau, tetapi ayah tidak terjangkau. Raib
dalam kerumunan manusia yang gemuruh. Paman Jafar yang pulang setelah kejadian
itu juga mencari, namun ayah tetap tidak dapat dicari. Sampai kini.
”Baru pekan lalu kuterima surat Kakak,” kata Paman Jafar seperti minta
maaf. ”Payah hubungan pos sekarang. Lambat. Aku tidak dapat pula cepat-cepat
berangkat, izin dulu ke komandan.”
”Jalan pun buruk, Kak. Berlubang-lubang,” istri paman
menambahkan.
”Paham aku itu,” balas ibu mengangguk, lalu menoleh kepada
kakak. ”Begitu keadaannya, lihatlah.”
Istri Paman Jafar menghampiri kakak. ”Tapi mau dia makan,
Kak?”
”Mau. Disuapi.”
”Disuapi?” Bibi senyum memeluk bahu kakak. ”Disuapi engkau
Mariani, anak rancak? Eh, kenapa keningnya ini?” Senyum bibi tiba-tiba lenyap.
”Anak-anak nakal itu,” sahut ibu. ”Tapi tidak dalam. Sudah
kering sekarang.”
”Terlalu! Tengoklah, Bang!”
Mendengar ibu menjerit melihat
darah muncrat di jidat kakak, aku melesat ke luar rumah. Kuburu anak-anak itu. Ada empat orang, sama
besar denganku. Langsung kutumbuk hidung anak terdekat. Dia melengking,
berdarah-darah. Yang lain siap-siap menyergap. Tapi seorang terjerembab saat
lututnya kusepak. Lantas ku-nyanyah pula mukanya hingga lumat. ”Kalian lukai
kakakku! Kalian lukai kakakku!”
Orang-orang berhamburan memisahkan. Ibu-ibu menceracau,
berteriak-teriak. ”Dasar kurang ajar! Anak tidak tahu diuntung! Tukang
berkelahi!”
”Maling mangga! Pembuat onar! Pembawa sial!”
”Mereka yang salah,” kubilang. ”Mereka lempar kakakku dengan
batu.”
”Bohong! Dasar pencuri jambu! Anak Gestapu!”
Melihat puting susu perempuan itu
terjuntai panjang dan hitam belum dibenahi sehabis menyusui, kubalas berteriak,
”Kau ibu anjing!” Plak! Tubuhku terhuyung ke belakang. Hampir terjengkang.
Kepalaku nanar. Kuping mendenging. Seorang lelaki membelalak garang di depanku,
mengibaskan tangan bagai mengusir anjing. ”Pergi!”
Bibi merebahkan kepala kakak di
dadanya. Membelai-belai rambut dekat luka. ”Masih rajin engkau mengaji,
Mariani? Nanti mengaji, ya. Bibi ingin mendengarmu mengaji. Pamanmu juga.”
Tidak berjawab. Hanya bulu mata lentik kakak mengerjap-ngerjap. Kemudian air
matanya membersit lambat-lambat, bagai rembesan pada panci rusak
Mata yang Berlabuh
Cerita Pendek Muhamad
Adji
Matahari kelabu. Udara bisu.Tak ada
suara lengkingan renyai yang menyeruak seperti biasanya setiap kali ia jejakkan
kaki di daratan yang berpasir. Tidak pula suara perempuan yang lantang, yang
dengan lari-lari kecilnya, menghalau anak yang berlarian di depannya itu dari
air laut yang merambati kaki mereka. semuanya telah menghilang. Tapi masih ada
yang belum ditemukan. Karena itu, Abdullah, laki-laki yang berjalan terseok
itu, terus mencari-cari. Tangannya telah lelah, hampir tak sisakan tenaga. Tapi
gelombang di dadanya lebih besar daripada kehendak tubuhnya. Ia paksakan
kakinya melangkah meski nyeri mulai menusuk pada memar kakinya. Abdullah
hentikan langkah. Layangkan matanya pada langit. Ia tidak tahu lagi apakah ini
siang atau malam. Waktu telah berhenti sejak peristiwa itu. Tapi ia butuh waktu
untuk mengais sisa tenaganya. Lalu apa yang masih menggerakkannya? Tubuh?
Tidak. Tubuh itu sudah tidak berfungsi lagi. Namun, kalau pun kaki itu harus
dicabut dari tungkainya, Abdullah akan terus berjalan. Semuanya memang telah
sirna. Tapi masih ada yang tertinggal. Karena itu, ia masih mencari. Sepanjang
beberapa depa, Abdullah kembali menghentikan langkah. Kakinya dilanda nyeri.
Seribu semut merah seperti menggigiti urat kakinya. Abdullah Memijit-mijitnya
dengan perlahan. Hanya istirahat sejenak. Sebab sesudahnya, dengan rasa sakit
yang masih menyisa, Abdullah berjalan kembali. Mungkin rasa sakit itu sudah
hilang. Bersama tumpahan air mata yang membanjir berhari-hari sebelumnya hingga
tak menyisa. Meskipun ia minum seluruh air laut di Pantai Ulee Lheu, itu takkan
bisa menggantinya. Abdullah pun telah menghapus air mata itu dalam catatan di
darahnya. Seperti beku telah membungkus hatinya. Hanya dengan mata ia berjalan.
Mata yang gelap.Berhari-hari yang lalu, Abdullah telah jelajahi seluruh tempat.
Puing-puing yang luruh. Mayat-mayat yang serak. Ada tetangganya, teman melaut, teman anaknya
yang sering menunggui kapal ikan datang, penjaga surau kampung. Namun ia tak
ada di sana. Karena
itu, Abdullah terus mencari.''Sudahlah, Abdullah. Istirahatlah sejenak. Badanmu
sudah letih.''
Ia tidak begitu awas, apakah itu suara istrinya atau
tetangganya.
''Nanti saja. Aku selesaikan dulu pekerjaan ini. Nanti aku
kembali.''
Tidak. Ia telah berbohong pada istrinya. Kembali? Aku belum
menemukan yang kucari, maka aku tidak akan kembali. Lagipula kemana aku akan
kembali? Abdullah menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak kan ada langkah surut, suara hati Abdullah
kuatkan langkahnya.Istrinya memang memahami sikapnya. Batu yang keras itu tak
akan mudah dilebur dalam satu pukulan kampak.''Anakmu sudah menanti. Mengapa
engkau masih tak tahu juga, Abdullah. Bukankah engkau tahu mereka sudah
menantimu untuk makan siang.''Sedetik tubuh Abdullah mengeras. Matanya tajam
menentang ke atas. Ada yang dicarinya di sana. Tapi tak ada
apa-apa. Langit tak biru. Merah memantul dari lensa matanya. Hanya angin yang
berkesiur. Selebihnya tak ada.
''Nantilah. Nanti saja. Aku belum ingin pulang.''
''Apa yang kau cari, wahai Abdullah? Kau tak turuti anjuran
istrimu.
Mengapa engkau masih bengal juga, Abdullah!
''Itu suara ayahnya. Suaranya keras, seperti dirinya.
Abdullah tak peduli.
''Kemana engkau akan pergi, anakku?'' perempuan yang matanya
kelabu memanggilnya serupa angin.''Tak usah hiraukan aku, Bu.''Abdullah terus
berjalan. Kakinya yang menyusut dari waktu ke waktu dan makin kehilangan daya
tak mampu kalahkan kehendaknya.
Keluarga R
Cerita Pendek Adek
Alwi
WAKTU menyempurnakan segalanya.
Memburai, mengacak, juga menatanya kembali. Tidak ada yang abadi. Juga di rumah
seberang jalan itu. Dulu ada sembilan kepala, sembilan mulut, sembilan perut di
rumah itu. Kami sebut keluarga R karena namanya semua diawali huruf R. Mulai
Rus'ad, sang ayah; ibu, Rakena; lantas tujuh anak yang berleret susun paku:
Ridwan, Rosmalia, Ruslan, Rustam, Rismun, Rusmin, dan Ramena.
Keluarga R dapat pula kita tandai
dari kepala mereka yang terlihat lebih besar dari rata-rata kepala manusia,
serupa jerangkong. Serta mulut menerowong seakan tak pernah mengatup, perut
bagai tidak berlantai. Khusus Rustam yang sebaya denganku, dan Rismun sang
adik, ditambah perangai balaku baruak alias nakal, rakus, bandel, kurang ajar
tidak ubahnya beruk. Rusmin juga mulai mengarah perilaku itu, kendati masih
tiga tahun. Apa saja dipanjat. Apa yang terlihat direbut, dipurukkan ke mulut.
Ramena yang berumur beberapa bulan pun demikian. Tidak henti menggeliat,
meliuk-liuk. "Lasaknya!," ujar ibu, tiap kali bayi serupa kera itu
dibawa ibunya atau Rosmalia main ke rumah. Ditepuk-tepuk ibu pinggulnya tetapi
Ramena tetap meliuk-liuk seolah terbuat dari karet.
Rustam dan Rismun, bukan cuma
lincah memanjati tembok halaman belakang, bergayutan di pohon jambu, mangga
atau pisang; juga menyusup masuk dapur, duduk mencangkung melihat ibu memasak.
Tepatnya, mengamati yang dimasak ibu. Begitu yang dimasak diangkat dari
penggorengan, mereka sambar. "Tunggu!," seru ibu, tidak jarang dengan
menokok tangan keduanya. "Basuh tangan dulu!," Dua bersaudara itu
terbirit-birit ke kamar mandi, sementara ibu menyendok dua piring nasi, sayur,
sekerat ikan, atau kentang goreng balado.
Sedang lahap-lahap begitu kadang
aku muncul. "Rustam! Rismun!" Keduanya tergeragap, menyeringai menampakkan
taring dan gigi-gigi yang kuning. Dan selesai makan ngeluyur beriringan bak
beruk kekenyangan. Lebih seru bila aku muncul saat mereka dicegah mencomot
sesuatu. Selain kubentak, kusepak. "Rakus!," Keduanya lagi-lagi
menyeringai, kabur, tetapi tak lama mencogok kembali. Ngehek benar!
Hanya saja, ibu dan ayah tak suka
aku begitu. "Kenapa harus kasar dan marah-marah," tegur ayah.
"Jangan biasakan dirimu dihuni rasa marah dan tidak suka kepada
sesama!"
"Kasihan," ibu menambahkan. "Lagi pula,
takkan mengurangi kalau kita beri."
Memang tidak mengurangi. Mangga
atau jambu kami tetap lebat buahnya, dan yang diminta Rustam juga potongan
potlot tidak terpakai, sisa hapusan atau buku tak digunakan. Ibu sesekali
memberi pakaian bekas. Tetapi, jengkel terus aku menengok kepala bak
jerangkong, mulut menerowong itu. Apalagi kalau bermain, tidak pernah Rustam
tak membawa adik. Bila tidak Rusmin, ya, si Rismun. Keduanya sama, cuma nama
saja dibolak-balik.
Satu-satunya yang meredam rasa
gusarku, Rustam pintar di sekolah. Apa saja dijelaskan Bu Ainah langsung
terperangkap dalam kepalanya yang besar, lekat bahkan berkembang biak di situ.
Ia juga tidak pelit. Maksudku, kalau ada ulangan aku cukup mendesiskan
"ssst" maka lembar jawaban dia dekatkan hingga bisa kusalin
seutuhnya, hingga ke titik-koma.
Tetapi itu tetap tak membuatku
cepat kaki ringan tangan disuruh ibu ke rumah seberang jalan itu; mengantar
gulai, nasi, ubi, talas, keladi, pisang, serabi atau apa saja sebagai
pengganjal perut. Ada
saja alasanku, hingga adik atau kakak perempuan yang pergi. Sekembali mereka
kasak-kusuk aku bertanya, "Bagaimana, bagaimana? Sedang mengapa
mereka?"
"Menyanyi!"
"Menyanyi?"
"Menyanyi. Ngobrol. Tertawa-tawa!"
Itu lagi kebiasaan sekaligus
keanehan keluarga R. Kumpul sore-sore, termasuk Pak Rus'ad dan nyonya, kemudian
mengobrol, bernyanyi, tertawa-tawa, seolah tidak ada apa-apa.
Pernah, usai magrib, aku tak dapat
mengelak disuruh ibu mengantar serantang makanan ke rumah seberang jalan itu.
Memasuki halaman sudah kudengar suara-suara orang menyanyi, bercakap-cakap,
diselingi gelak tawa. Lantas senyap, terhenti, waktu aku tiba-tiba mencogok di
ambang pintu. Berpasang-pasang mata terpaku kepadaku. Persisnya, bawaanku.
Kemudian Bu Rakena senyum-senyum menghampiri.
Pulangnya, iseng aku berbelok ke samping, dan diam-diam
kulekapkan kuping ke dinding. "Mak, aku dulu Mak! Aku dulu!" Kalau
tidak Rusmin, tentu Rismun. Bisa juga Rustam.
"Sabar, sabar. Semua dapat. Semuanya diberi."
"Tapi aku dulu Mak! Sejak siang aku belum makan!"
"Adik dan kakak-kakakmu juga. Nah, ini, makanlah!"
Sesampai di rumah kuceritakan semua, disertai rupa-rupa
bumbu.
Bursa Efek Jakarta, Suatu Senja
Cerita Pendek AM
Lilik Agung
Bursa Efek Jakarta, Tower 2 lobi
depan. Jam 7 pagi. Manusia-manusia global penghuni kompleks perkantoran masih
terbenam di jalan raya. Hiruk-pikuk lalu lintas. TransJakarta yang penuh sesak.
Three in one nan menyebalkan akibat dari sebuah metropolitan yang ketinggalan
dalam sistem transportasi umum. Akhirnya menyisakan satu pilihan: macet di
jalan atau berangkat pagi-pagi. Kupilih pilihan kedua, berangkat pagi-pagi.
Lebih baik pagi datang ke kantor ketimbang dihajar kemacetan yang semakin luar
biasa di Ibukota sebuah negeri elok bernama Jakarta .
Starbucks Coffee menyempil di Tower
2 lobi gedung Bursa Efek Jakarta. Jam 7 pagi. Ketika waiter pertama kali
membuka pintu dan para barista masih sibuk dengan racikan kopi. Kakiku langsung
memasuki gerai kopi anak kandung dari budaya global. Selalu begitu ritual pagi
di Starbucks Coffee. Waiter membuka pintu, barista meracik kopi, aku duduk di
kursi belakang sebelah kiri. Di bawah poster ' the world history of coffee
." Secangkir espresso ditemani sepotong pastry . Ah, betapa eksotiknya.
Lalu ritual pagi semakin eksotik
ketika beberapa menit berikut muncul wanita berparas ayu dengan dua anting di
telinganya: Anna Karenina Wijayanti. Nama yang mengingatkan aku pada novel
besutan Tolstoy. Anna, namanya seindah parasnya, secerdas otaknya. Anna biasa
memilih cappuccino. Kesukaan lainnya espresso macchiato. Dan kesukaan Anna yang
lain lagi; duduk di hadapanku. Menyibakkan rambut sebahunya. Memperlihatkan dua
antingnya. Menyeruput cappuccinonya. Lalu Anna mulai membuka bibir. Bercerita
apa saja. Mulai dari urusan politik lokal, sastrawan peraih nobel, harga minyak
dunia yang tidak pernah stabil hingga diskon celana di Plaza Senayan.
Seperti pagi ini. Blouse hitam
berpasangan dengan celana panjang hitam. Sepatu berhak tinggi. Bau parfum estee
lauder . Rambut dibiarkan tergerai sebahu. Secangkir cappuccino. Sepotong
tiramisu. Anna menelanjangi wajahku.
"Matamu masih
merah. Apa semalaman pikiranmu berkelana sehingga bantal tidak mampu
menyelamatkan kantukmu?" Anna membuka ritual percakapan pagi.
" The Conch Bearer -nya Chitra Divakaruni. Membuat saya
semalaman harus menyelesaikannya," kusebut buku terbaru karya sastrawati
besar India
. "Dua anak keturunan India
- laki-laki dan perempuan - yang hidup di Amerika. Anak-anak imigran yang tidak
tercerabut dari akar budayanya. Lalu Divakaruni membawa pembacanya ke dalam
petualangan untuk belajar, menerima dan mengagumi budaya India. Sungguh
luar biasa."
"Aku juga sudah melahap dua novel Divakaruni, Sister of
My Heart dan The Mistress of Spices . Memang luar biasa tuh si Diva." Anna
melahap tiramisunya. Diaduk cappuccinonya. Lalu dua teguk masuk ke mulutnya.
"Bukan hanya Divakaruni yang hebat. Prakash Rham juga
luar biasa." Anna menyebut nama bosnya,"Saking hebatnya Rham, sampai-sampai
perusahaan memberi dia rumah mewah di Permata Hijau dan Jaguar keluaran
terbaru." Kali ini Anna menyindir bosnya. Alis matanya menaik. Tanda
kata-katanya belum selesai. Kutunggu lanjutan kalimatnya.
"Tapi mau apa lagi. Kapitalis-kapitalis global itu
tetap lebih mempercayai orang-orang Asia Tengah dan Asia Timur ketimbang
manusia-manusia lokal. Yah nasib warga negara dari sebuah negeri yang eksekutif
dan legislatifnya selalu berkelahi."
"Berkelahi itu bagian dari demokrasi, Saudariku. Apalagi
demokrasi yang masih seumuran jagung. Tapi lumayanlah, ketimbang masa lalu.
Legislatifnya mati di ketiak eksekutif," aku berucap. Cangkir berisi
espresso kuraih. Kunikmati tiga tegukan. Pembicaraan kemudian beralih. Dari
sastra menjadi politik.
"O ya, sekarang ada rumor ampuh yang ramai didiskusikan
orang. Pemberantasan korupsi beserta produk-produk turunannya,"
kulanjutkan kalimatku, "Pembentukan komisi antikorupsi, kampanye polisi
bersih, mengganyang mafia peradilan hingga memindah koruptor ke Nusakambangan."
"Terlalu banyak program, Bung. Satu saja, fokus;
kampanye polisi bersih. Hong Kong 25 tahun
lalu mirip negeri ini. Banyak koruptor. Bertumbuh preman-preman berdasi. Kolusi
penguasa dan mafia. Sampai penyelundupan yang direstui. Tapi apa yang dilakukan
pemerintah Hong Kong ? Fokus pada satu hal,
mencetak polisi bersih." Anna menimpali.
"Analisismu luar biasa, kawan. Polisi Hong Kong
sekarang merupakan polisi paling ramah di seluruh jagat."
Espresso tinggal sepertiga cangkir.
Kulirik jam tangan. Angka-angka digital menunjuk ke 07.52. Segera kuteguk habis
sisa espresso. Anna setali tiga uang dengan polahku. Disambar habis
tiramisunya. Diteruskan dengan menenggak habis sisa-sisa capucinno. Kami
berbarengan meninggalkan Starbucks Coffee. Menuju pintu lift . Terbenam di
dalamnya. Di lantai 21 Anna meloncat keluar. Menuju kantornya. Enam lantai
berikut, di lantai 27. Di sini kantorku.
Laptop kunyalakan. Jaringan
internet kupasang. Memeriksa puluhan e-mail . Sebagian besar e-mail sampah.
Sisanya e-mail yang layak dibaca dan dibalas. Setengah jam berikut, Tini,
sekretarisku, membawa guntingan koran. Ada
sepuluh kliping berita dan analisis. Semuanya tentang saham dan keuangan.
Kuamati satu analisis. Kubaca judul tulisannya, "Merekayasa Laporan
Keuangan: Tanggapan Atas Tulisan Agung Kusuma." Lalu kupelototi
penulisnya, Anna K Wijayanti.
Anna, namanya seindah parasnya,
secerdas otaknya. Menanggapi analisisku. Analisis tentang penggorengan saham
yang dilakukan oleh perusahaan kliennya. Kuserang habis perusahaan klien Anna.
Kutelanjangi intrik-intrik laporan keuangannya. Kubeberkan perkembangan
nilai-nilai sahamnya yang nyaris tidak masuk akal. Pagi ini, gantian Anna
membela habis-habisan kliennya. Bahkan pada tulisannya, aku disebut analis
kacangan yang cuma mencari sensasi murahan. Lalu ditutup dengan kalimat pendek
namun amat tajam. "Beginilah kalau tukang kayu mencoba menjadi pemain saham.
Semua dianggap sebagai paku." Wow, luar biasa tanggapan wanita berparas
ayu dengan dua anting di telinganya
Badai Laut Biru
Cerita Pendek Ahmadun
Y Herfanda
SIANG itu sangat terik. Matahari membakar pantai
berpasir hitam hingga terasa membara. Tiang-tiang layar perahu bagai gemetaran
dipermainkan angin dan ombak, hingga perahu-perau tua itu bagai menari-nari di
bibir pantai. Namun, kehidupan para nelayan terus berjalan, dalam rutinitas,
mengikuti kehendak sang alam.
Di atas pasir hitam, tak jauh dari
sebuah perahu yang terus menari, Kardi mengemasi bekal-bekal pelayaran, jala
dan kail, juga keranjang-keranjang ikan, lalu menaikkannya ke geladak
perahunya. Tiba-tiba ombak besar menghantam dinding perahu, sehingga terguncang
keras. Kardi yang sedang berpegang pada bibir perahu hampir terpental.
Karena guncangan itu,
keranjang-keranjang yang dia tenteng terlepas dan hanyut terseret ombak. Dengan
cepat Kardi mengejarnya dan berhasil meraihnya. Tapi sial, yang tertangkap
hanya satu keranjang yang paling kecil. Dengan cepat dan sekenanya dia
melemparkan keranjang itu ke perahu, sehingga hampir saja mengenai kawannya
yang sedang berdiri di geladak, merapikan letak tali layar perahu dan
jaring-jaring ikan.
Melihat Kardi kepayahan, lelaki di
geladak itu, Salim, dengan tangkas meloncat ke arah Kardi dan mengambil alih
keranjang-keranjang yang dibawanya. Setumpuk keranjang yang kokoh itu memang
terasa berat karena basah. Sampai di dinding perahu tubuh Kardi sudah hampir
lunglai. Salim melemparkan tumpukan keranjang itu ke geladak lalu dengan kedua
tangannya yang kekar dia mengangkat tubuhnya dan meloncat ke geladak. Kardi
sudah tidak kuat mengangkat tubuhnya sendiri. Salim kembali membantunya,
menarik tangan Kardi sampai berhasil naik ke geladak.
"Pelaut macam apa kau! Baru begitu saja sudah mau
pingsan," ejek Salim. Kardi hanya tersenyum pahit sambil terus merebahkan
tubuhnya di pinggir geladak.
Perahu mereka sesungguhnya sudah
sangat tua. Umurnya kira-kira seusia kapten mereka, Pak Ruslan, yang sudah
mengawaki perahu itu sejak 20 tahun lalu. Berawak sembilan orang. Enam orang
lelaki dewasa, dua orang anak lelaki dan seorang gadis-anak Pak Ruslan-sebagai
tukang masak. Panjang perahu kira-kira dua puluh dua meter dengan lebar
kira-kira enam meter. Memiliki layar putih yang sudah mulai kecokelatan dan
sudah banyak tambalannya, namun mereka belum sempat menggantinya dengan layar
yang baru.
Kardi masih berbaring di pinggir
geladak ketika ombak semakin ganas menghantami dinding perahu. Dia bagaikan
tidur di pinggir ayunan yang lebar dan hangat, membiarkan panas matahari
menyengati kulit tubuhnya yang cokelat kehitaman. Seolah dia sudah biasa
dibakar sinar matahari seperti itu. Dia sudah tidak pernah lagi ingin memiliki
kulit tubuh yang kuning seperti ketika masih sekolah di SMA dua tahun yang
lalu.
Kardi masih ingat betul ketika itu
memiliki kulit tubuh yang kuning dengan perawakan tinggi dan wajah simpatik.
Dia masih ingat betul, ketika itu diperebutkan beberapa gadis yang tergolong
berwajah cantik. Dan, dia masih ingat betul ketika berpacaran dengan gadis
keturunan Tionghoa, teman sekelasnya. Namun, semuanya telah berlalu bersama
kegagalannya meraih cita-cita masuk Akabri. Bersama hilangnya warna kuning
kulitnya. Direnggut sang waktu.
Selama dua tahun dia pun berusaha
mencari pekerjaan yang layak sesuai dengan ijazahnya, namun hasilnya nihil.
Kemudian atas anjuran ayahnya, Kardi ikut menjadi awak perahu milik sang ayah
sampai sekarang. Kini dia pasrah saja pada kehendak alam, kehendak sang nasib,
kehendak waktu. Akan menjadi apa dia kelak, akan seperti apa kulit tubuhnya,
dia pasrah saja. Sedangkan Salim adalah anak pamannya yang bernasib sama, gagal
masuk perguruan tinggi negeri dan gagal mencari pekerjaan kantoran.
"Angkat sauh, kita akan segera bertolak!" seru Pak
Ruslan dari haluan.
Kardi kaget dan segera bangkit. Dia
melihat seseorang telah terjun ke air dan segera melepaskan tali perahu yang
terikat pada tonggak di bibir pantai. Kardi segera membantunya dengan menarik
tali itu dan menaikkannya ke geladak. Di cakrawala utara tampak mendung hitam
bergumpalan. Angin bertiup sedang dari arah barat laut. Tapi, matahari masih
tampak bersinar, condong ke ufuk barat.
Dayung-dayung berkecimpung dan
perlahan-lahan perahu tua itu meninggalkan daratan melaju ke arah timur laut,
semakin ke tengah dan terus ke tengah.
"Kembangkan layar! Angin sudah mulai lambat dan akan
berganti arah," teriak Pak Ruslan.
Seorang awak perahu memanjat tiang
layar, melepaskan tali pengikat. Salim bersama seorang awak perahu yang lain
melepaskan tali layar bagian bawah, Kardi siap dengan merentangkan tali layar
membentang ke haluan. Perlahan-lahan layar pun mengembang lalu tertiup angin ke
samping kanan. Parahu menjadi tidak seimbang dan miring. Dengan refleks para
awak perahu mencari keseimbangan.
"Belokkan haluan ke kanan!" teriak sang kapten
lagi.
Juru mudi segera menekankan sirip
kemudi melawan arus air di sebelah kanan ekor perahu. Kardi dan Salim
membetulkan letak layar dengan menarik tali-talinya. Perahu pun perlahan-lahan
membelok 60 derajat ke kanan, kemudian melaju dengan tenang.
Jala-jala yang berwarna biru tua
mulai diturunkan. Begitu pula beberapa kail yang telah disiapkan. Kail-kail itu
masing-masing diberi pengapung sepotong kayu agar tidak tenggelam ke dasar
laut. Jarak antara pengapung dan kail sekitar satu meter. Masing-masing diberi
umpan sepotong ikan kecil. Biasanya ikan belanak atau udang. Apabila ada ikan
yang memakan umpan, kayu pengapung akan terlihat tertarik-tarik timbul
tenggelam di permukaan air itu tertarik menurut larinya ikan.
Tarikan dan gerakan pengapung itu
kadang-kadang cepat dan keras, kadang-kadang lemah dan perlahan, tergantung
pada jenis dan besar kecilnya ikan. Ikan kakap biasanya menarik umpan dengan
cepat dan keras. Ikan tongkol dan ikan tengiri suka memakan umpan dengan
menghentak-hentakkannya ke bawah. Semakin besar ikan yang memakan umpan, akan
lebih pelan gerakannya, namun terasa lebih berat dan mantap.
Jala-jala yang dipasang di kanan
kiri perahu biasanya diangkat seperempat jam sekali, atau sewaktu-waktu bilamana
perlu. Sedangkan jala-jala lempar akan dilempar sekali-sekali atau berkali-kali
apabila diperkirakan perahu sedang berada di daerah yang banyak ikannya.
Seorang nelayan yang sudah berpengalaman dapat membedakan mana air yang banyak
mengandung ikan dan mana yang tidak, yang dapat diketahui dari gerak airnya.
*
Perahu tua itu masih melaju dengan
tenang sebab belum sampai di daerah sarang ikan yang mereka tuju seperti
hari-hari kemarin. Pada saat demikian para awak perahu dapat beristirahat
sebentar untuk melepaskan lelah. Kardi dan Salim duduk di emper gubuk perahu,
memandang langit yang tampak kebiruan di celah-celah awan putih dan hitam,
Matahari timbul tenggelam di balik awan. Mereka mengalihkan pandangan ke laut
yang semakin tampak biru. Ikan-ikan kecil banyak berloncatan di kanan kiri
perahu. Loncatan ikan yang tinggi kadang-kadang masuk ke geladak perahu.
Kardi mengambil sebungkus rokok
dari saku celanannya lalu menawarkannya kepada Salim. Salim melolos sebatang,
dan dijepitkan di belahan bibirnya.
"Tumben kau membawa jarum super!"
" Kan
kemarin dapat hasil banyak," sahut Kardi seenaknya. Mereka berdua menyulut
rokok, mengisapnya dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya. Sampai di udara asap
rokok itu buyar di koyak-koyak angin laut.
"Kalau hasil kita begitu terus enak, ya."
"Ya, hidup kita bisa sedikit senang. Tapi sekarang
panen ikan baru seminggu saja sudah abis, dan hasil kita tidak selalu banyak.
Dulu, sebelum ada pukat harimau, panen ikan dapat kita nikmati sampai kira-kira
tiga bulan. Waktu itu hasil tangkapan kita dapat untuk membeli apa-apa.
Sedangkan sekarang dapat kau lihat sendiri. Kita semakin melarat saja. Untuk
membeli perlengkapan perahu saja sangat sulit," keluh Kardi.
"Sekarang kan
sudah ada undang-undang yang melarang pukat-pukat harimau beroprasi di daerah
kita."
"Ya, tapi apa gunanya undang-undang kalau
perampok-perampok ikan itu masih dapat dengan bebas dan seenaknya saja
beroperasi di daerah kita."
"Apakah kita tak pernah lapor tentang
pelanggaran-pelanggaran mereka?"
"Sampai bosan, Lim. Tapi tak ada hasilnya. Kita bahkan
semakin jengkel saja. Teknologi modern kadang-kadang bahkan menjadi alat
penindas rakyat kecil. Dan sulitnya lagi kita hidup di negara yang hukum dan
undang-undangnya belum menjadi kesadaran yang penuh."
"Kau sudah mendengar tentang perkelahian antara nelayan
kecil melawan nelayan pukat harimau di pantai Jepara yang berakhir dengan
tragedi pembunuhan?"
"Itu persoalannya juga seperti yang kita alami. Siapa
orangnya yang tidak jengkel kalau sumber pangannya dirampok oleh orang lain?
Kalau kita tidak sabar-sabar mungkin sejak dulu-dulu kita sudah bentrok dengan
para perampok itu."
"Ya, Di. Aku pun merasakan hal itu. Tapi, situasi hanya
semakin membuat kita tidak berdaya."
"Itulah, Lim. Situasi hanya semakin memojokkan kita
sehingga kita semakin tidak berdaya, kecuali hanya memendam kejengkelan yang
semakin mendalam."
Tidak terasa dua batang rokok telah mereka habiskan. Perahu
masih melaju dengan tenang. Mendung hitam semakin banyak bergumpalan di langit.
"Kau tidak lapar, Lim?"
"Lapar sih lapar, tapi itu dewimu belum selesai
memasak. Rukmi, sudah masak belum? Ini Romeomu suda kelaparan!" Salim
berolok-olok, Kardi cuma senyum-senyum saja.
"Sebentar lagi!" teriak Rukmini dari dalam gubuk
Haji Dal
Cerita Pendek Edeng
Syamsul Ma'arif
HAJI Dal menghembuskan asap
kreteknya. Di beranda. Gelisah. Sudah tiga kali menunaikan ibadah ke Tanah
Suci, tapi masjid di Kampung Dadap selalu saja sepi. Setiap salat Jumat
shaf-shaf senantiasa kosong, terlebih pada hari-hari biasa. Lengang. Padahal, tak
bosan-bosan, bersama Abah Haji Jamhur dan Surip, mengajak setiap orang untuk
memakmurkan masjid Al Manzilah (nama ini diilhami oleh posisi Kampung Dadap
yang diapit dua bukit), minimal setiap Jumat. Nihil. Tidak ada muka lain
kecuali mereka bertiga di dalamnya, meski pengeras suara sudah diarahkan ke
segenap penjuru mata angin, mengumandangkan azan pada tiap-tiap waktu salat.
Mulanya Haji Dal mengira, semakin
sering dirinya pergi haji, orang-orang akan semakin tertarik untuk datang ke
masjid. Haji Dal mengusap muka. Munafik. Selama ini ia telah melakukan dosa
teramat besar. Menganggap haji adalah jabatan yang bisa dijadikan alat untuk
memengaruhi orang-orang. Termasuk hartanya yang banyak dikeluarkan, semuanya
mengandung pamrih. Bergidik Haji Dal membayangkan azab Allah yang teramat
pedih. Segera ia berwudu.
Tekadnya, semua dosa harus ditebus.
Ia berjanji, musim haji tahun ini akan berangkat lagi. Bukan untuk takabur,
tapi untuk sebuah rencana besar dan berat, menyangkut kelangsungan hidup
orang-orang di Kampung Dadap. Tak ada yang akan diberi tahu, juga Abah Haji
Jamhur, gurunya yang telah sepuh. Hanya kepada Surip.
Ya, Surip. Kepadanya ia sangat
percaya. Pembantu paling jujur yang pernah ditemui. Muazin fasih yang mengurusi
segala kebutuhan hidup sehari-hari, setelah istri Haji Dal meninggal ketika
wabah malaria mengganas di Kampung Dadap. Sedangkan anak, Haji Dal tak punya.
**
BEGITULAH Orang-orang Kampung Dadap
selalu bergunjing. Terkagum-kagum memuji keberuntungan Haji Dal. Meski tak
sekalipun datang ke masjid, haji adalah pangkat impian mereka. Memakai peci
putih dengan harum zakfaron. Ke mana-mana mengurai tasbih berselendang sorban.
Mustahil, kecuali Jibril salah alamat atau Roqib dan Atid lupa menghitung.
Sejak dulu selalu begitu. Mereka memang bodoh. Meski fatwa seorang haji adalah
hukum, tapi bukan hukum untuk datang ke masjid. Mendengar masjid mereka akan
alergi, gatal-gatal, dan demam tinggi.
Sebenarnya, Haji Dal merasa tidak
enak juga jika terus-terusan pergi haji. Seolah hanya dirinya yang mampu
melakukan itu. Terutama pada Abah Haji Jamhur yang berulangkali menasihati agar
biaya pergi haji itu lebih baik diberikan kepada yang lebih membutuhkan.
Berbagi rezeki, kebahagiaan dan kemuliaan. Tapi siapa yang layak menerima?
Orang-orang itu? Mana mungkin? Mereka memusuhi masjid. Kecuali Surip.
Sayangnya, Surip selalu menolak tawaran untuk naik haji. Belum saatnya, selalu
ia bilang begitu. Suatu saat mungkin sampai, katanya.
Tapi keputusan ini harus
ditetapkan. Jika kedua tangannya sudah tak mampu lagi memperbaiki orang-orang,
kenapa semuanya tidak dikembalikan kepada tangan mereka sendiri? Tekad Haji Dal
sudah bulat, ia harus berani menantang risiko. Berat memang, terutama buat
Surip yang akan dipercayainya.
Akan halnya di mata orang-orang
Kampung Dadap, Haji Dal adalah panutan. Bukan semata karena sudah haji tiga
kali, tapi mereka tak bisa menutup mata pada segala sesuatu yang telah mereka
terima. Tak seorang pun yang datang ke rumah Haji Dal pulang dengan tangan
hampa. Mereka meminjam uang untuk beli pupuk, alat-alat pertanian sampai
kebutuhan hidup sehari-hari. Haji Dal tak segan memberikan pinjaman. Bahkan tak
jarang merelakannya tanpa kembali. Orang-orang takjub. Haji Dal benar-benar
memukau. Ia seorang dermawan sejati.
Itulah sebabnya, seluruh sawah,
peternakan maupun ikan-ikan di kolam milik Haji Dal senantiasa aman dari
ta-ngan-tangan penjarah atau maling pengganggu. Orang-orang Kampung Dadap akan
dengan sigap menjaga dan membela segala sesuatu yang berhubungan dengan Haji
Dal. Mereka berhutang budi. Tak ada iri, dengki apalagi menyimpan dendam. Tak
ada celah untuk berbuat jahat atau khianat. Kecuali kepada masjid, mereka tak
merasa berutang.
Hingga satu minggu menjelang
keberangkatan Haji Dal, mereka sibuk mendirikan tarub. Ruangan di dalam rumah
ternyata tidak cukup untuk menampung orang sekampung. Seperti tahun-tahun
sebelumnya, mereka akan mengaji selama satu minggu penuh. Mendoakan keselamatan
dan kesejahteraan Haji Dal. Tak peduli mereka bisa mengaji atau tidak. Yang
penting kumpul. Yang penting pulangnya bisa membawa berkat.
Mereka bersukacita, karena selama
satu minggu tak perlu lagi mencangkul di ladang. Bingkisan bahan pangan dan
sejumlah uang setiap habis mengaji, sudah lebih dari cukup untuk dimakan
seluruh keluarga. Ibarat panen, mereka berbondong-bondong menghadiri kesempatan
mahal ini.
Bonsai
Cerita Pendek Harris
Effendi Thahar
Dulu, ayahku jarang sekali tinggal
di rumah lama-lama di siang hari. Sehabis makan siang, mengaso sebentar, lalu
pergi lagi. Tak terkecuali hari Minggu. Kadang-kadang, ayah pergi sehari dua
hari ke luar kota
dan pulangnya selalu membawa oleh-oleh untuk kami. Kalau ayah pulang pagi hari
dari perjalanan luar kotanya, biasanya ayah tinggal di rumah sampai habis
zuhur, lalu pergi dan pulang malam hari. Kalau ayah sudah lewat dua hari tidak
pulang, saya akan bertanya pada ibu kemana ayah pergi. "Ayahmu pulang ke
rumah istri mudanya," jawab ibu tanpa ekspresi yang meyakinkan.
Tapi, sebagai kanak-kanak yang
berusia enam tahun lebih, sudah duduk di kelas satu, aku menangis tanda protes.
Aku akan memukul-mukul ibu dengan tanganku yang kecil, ketika ibu sedang
menyusukan adik bungsuku. "Jangan pukul ibu, nanti ibu mati. Kamu mau
kalau ibu mati? Kamu tinggal dengan ibu tiri, mau?" Aku semakin menangis,
sampai-sampai adik bungsuku yang asyik menyusu itu kucubit tanda kesal dan
mengkal. Adik menangis pula. Ibu marah dan mengancamku dengan seikat lidi.
Menangis terisak-isak, lari ke beranda mencari belas kasihan kakak perempuanku
yang sudah gadis remaja.
Dialah ibu kedua bagiku, yang begitu telaten
mengasuhku sejak usia dua tahun, ketika adikku lahir. Aku panggil dia uni. Uni
akan membujukku pergi ke warung membeli kerupuk atau kembang gula. Setelah
usiaku sepuluh tahun, barulah aku tahu bahwa ayahku seorang dai. Kalau tidak
jadi Khatib Jumat, ia memberi wirid pengajian. Sehabis shalat
Asyar di masjid pasar yang cuma satu kilometer dari rumah, ayah mengajar bahasa
Arab untuk remaja dan anak-anak. Karena aku sudah kelas empat, aku disuruh ayah
ikut belajar bahasa Arab setiap sore, kecuali hari Jumat dan Minggu. Sejak itu
aku merasa tak enak pada ayah. Aku ingin main layangan atau apa saja permainan
kanak-kanak sebayaku. Aku ingin cepat besar sebesar uda, kakak lelakiku yang
sudah STM.
Udaku itu begitu bebas pergi dengan
banyak alasan, seperti belajar tambahan, olah raga, dan praktik bengkel. Sedang
aku? Meski dibelikan kopiah dan sarung baru, aku lebih suka main daripada
belajar bahasa Arab. Tak jauh dari rumahku, hampir tiap sore anak-anak sebayaku
berkumpul menyaksikan latihan musik di rumah Pak Daud, tepatnya di pekarangan
rumahnya yang luas dan rimbun oleh pepohonan. Di bawah pohon jambu yang besar,
ada dua ambin bambu berhadap-hadapan.
Di situlah orkes itu digelar,
tepatnya latihan. Pak Daud memegang biola, dua temannya yang kira-kira sebaya
dengannya memainkan gitar akustik, lalu seorang lelaki muda yang selalu
bercukur pendek dan berbadan kekar memainkan string bas. Sementara dua pasang
gendang, yakni gendang besar dan tinggi serta sepasang gendang kecil yang
pendek, marakas yang terbuat dari batok kelapa yang diberi tangkai, tak ada
pemegang tetap. Untuk alat-alat itu, Pak Daud meminta anak-anak yang hadir
untuk memainkannya dengan terlebih dahulu diberi petunjuk sekadarnya.
Mengagumkan, si Ujang yang baru kelas lima
itu sudah pandai memainkan gendang besar, begitu juga Amir dan Danu yang
masing-masing bisa bergantian memegang gendang kecil dan marakas.
Aku iri pada mereka. Aku berharap
Pak Daud sekali-sekali juga menunjukkan, lalu mengajarkan sedikit. Sedikit saja
pun jadilah, tapi tak pernah kebagian. Soalnya, ketiga anak-anak itu rajin
datang. Belum pukul tiga, mereka sudah main di sana dan lalu ikut membantu mengangkat
alat-alat musik itu dari gudang ke luar. Karena itu, aku sering mendoakan agar
salah seorang dari mereka absen datang, agar Pak Daud menyuruh aku
menggantikannya.
Sebenarnya, dengan beberapa kali
saja ikut menyaksikan latihan orkes Pak Daud, aku sudah bisa memainkan gendang
dan hafal nama-nama temponya seperti: rumba, kalipso, caca, dan joget. Aku
rajin latihan di mana saja ada kesempatan dan dengan alat apa saja yang dapat
kupukul, seperti gendang.
Di rumah, aku sering dimarahi ibu karena
menggendang meja makan. Sekali, ibu menjewer telingaku karena aku memainkan dua
kaleng roti tempat penyimpan bawang kering dan bumbu dapur sebagai gendang.
Akibatnya, adik bungsuku terbangun dari tidur siangnya. Tapi itulah,
kadang-kadang hari Jumat saat aku libur sekolah bahasa Arab, tak ada latihan
orkes, atau kebetulan hari hujan. Aku kecewa. Tapi, bila hari tak hujan dan tak
ada latihan orkes, aku memberanikan diri juga main ke sana. Suatu kali di Jumat sore, aku melihat
Danu dan Ujang di sana
membantu Pak Daud membersihkan bunga-bunga kesayangannya. Dengan langkah
ragu-ragu, aku mendekati mereka.
Kedua teman sebayaku itu tampak
akrab dengan Pak Daud. Konon Pak Daud tidak mempunyai seorang anak pun dengan
Bu Zulaikha sudah punya anak dengan suaminya yang pertama, seorang laki-laki
yang kini sekolah di Jawa bersama mamaknya. Kulihat Bu Zulaikha turun dari
rumah membawa nampan berisi cerek dan gelas-gelas serta stoples berisi kue-kue.
Ia melihatku dan tersenyum, terlihat sinar sebutir gigi emasnya. "O, ada
tiga anak. Tadi ibu pikir hanya Ujang dan Danu. Tunggu, ibu ambilkan gelas satu
lagi," ujarnya sambil berbalik setelah meletakkan nampan itu di atas ambin
bambu. "Hei, kamu kok jarang ke sini? Dilarang ayahmu ya?" tegur Pak
Daud begitu melihatku datang. Rupanya aku juga diterima di sini. Hatiku
berbunga-bunga. Pak Daud memotong-motong daun-daun yang tidak dikehendakinya
pada bonsai-bonsainya dengan sebuah gunting khusus. "Datanglah hari Minggu
pagi, kamu boleh ikut main musik," tawar Pak Daud. "Kita akan bentuk
orkes anak-anak." Sejak itu aku sudah menjadi anggota orkes Pak Daud dan
kami latihan dua kali seminggu.
Ayah tidak begitu gembira ketika
kukatakan bahwa aku sudah pandai main gitar dan string bas. Ketika kusampaikan
pada ayah, bahwa kami akan tampil di gedung Pancasila di malam resepsi
perpisahan dengan para sukarelawan yang akan berangkat ke perbatasan, ayah
mengerutkan kening. Penampilan orkes di gedung Pancasila itu tidak pernah
terjadi karena Gerakan 30 September/PKI keburu meletus. Pak Daud dan istrinya
Zulaikha ditangkap karena dituduh terlibat PKI.
Sebuah Kardus Mi Instan
Cerita Pendek Harris
Effendi Thahar
Selepas stasiun Jatinegara, kereta
Parahyangan meneruskan perja-lanan menuju stasiun Gambir sebagai tujuan
terakhir. Gerbong yang ditumpangi lelaki itu nyaris kosong karena banyak
penumpang yang turun di Stasiun Jatinegara. Kereta beringsut perlahan membelah kota sambil mengejek
kemacetan lalu lintas di bawahnya ketika kereta meniti jembatan di atas jalan
raya dengan santai. Lelaki itu menguap, kembali melihat ke tempat barang di
atas kepalanya. Kardus bekas kemasan mi instan yang diikat tali plastik tidak
rapi itu masih di sana.
Ibu paro baya yang duduk di dekatnya tadi telah turun dari Jatinegara dan
menolak ketika diingatkan lelaki itu supaya jangan lupa barangnya. "Tidak.
Itu bukan barang saya," jawabnya.
Lelaki itu cepat menduga bahwa ini
sebuah keteledoran atau kesengajaan. Boleh jadi sebuah bom. Mungkin saja ada
kelompok yang tidak puas dengan pelaksanaan pemilu atau teroris mancanegara
ingin menghancurkan Indonesia
pelan-pelan, batin lelaki itu. Ia mulai cemas. Tapi ia memberanikan diri juga
untuk menurunkannya dan meletakkan hati-hati di dekat tas jinjingnya sambil
mengamati kardus yang tidak diikat dengan rapi itu. Ada celah yang terbuka, terlihat gumpalan
plastik transparan sebagai pembungkus barang yang ada di dalam. Kereta bergerak
terus dan memasuki stasiun Manggarai dengan jalur keretanya yang berseliweran.
Meski tidak berhenti di stasiun itu, kereta tetap bergerak pelahan, seperti
kecapaian sehabis berlari kencang sejak dari Cikampek.
Lelaki itu mencoba memasukkan
tangannya hati-hati melalui celah yang terbuka. Di kepalanya terbayang bahwa ia
akan menyentuh kabel-kabel dan detonator. Tetapi, ternyata tidak. Melainkan
susunan kertas yang disusun rapi. Dengan antusias, ternyata susunan uang kertas
pecahan lima
puluh ribuan. "Ini pasti palsu," lelaki itu membatin. Tiba-tiba ia
berkeringat, berimajinasi macam-macam. "Jangan-jangan ini termasuk money
politics suatu partai," pikirnya lagi. Ia dikagetkan oleh kedatangan
kuli-kuli berseragam oranye yang menyerbu gerbong yang nyaris kosong itu ketika
sedang melambat hendak berhenti di stasiun Gambir.
"Boleh saya bantu, Pak?"
Lelaki itu menggeleng. Ia merapikan
ikatan tali-tali plastik itu kembali dan bersiap turun di stasiun Gambir dengan
badan penuh keringat beserta debaran jantungnya yang mengguruh.
*
Lelaki paro baya itu selamat sampai
tujuan melintasi macet Jakarta selama lebih kurang satu jam di atas bus patas
yang padat menjelang magrib bersama gerimis musim penghujan. Di kamar kosnya
yang sempit penuh buku, ia pastikan isi kardus itu bukan bom dan uang palsu.
Tapi tumpukan uang yang masih diikat rapi kertas pembalut bertanda Bank Indonesia itu
tampak asli dan utuh dalam ikatan sepuluh jutaan. Luar kepala, lelaki itu
menghitung dua ratus juta rupiah uang dalam pecahan lima puluh ribuan. Lalu ia mendorong kardus
itu ke bawah kolong tempat tidur bersentuhan kardus-kardus lain yang sekarang
seperti tidak berharga sama sekali. Sementara, hujan bulan Maret belum hendak
berhenti membasuh Kota Jakarta yang penuh debu.
Sebelum sempat tertidur, lelaki itu
kadang-kadang membenarkan tindakannya tadi sore di kereta Parahyangan, memutuskan
untuk membawa kardus berisi uang kertas itu. Kadang-kadang ia menyalahkan
dirinya dan merasa telah dengan sengaja mengambil risiko yang mungkin berakibat
fatal pada dirinya, kadang-kadang merasa berdosa besar.
"Tidak, ini tidak keliru. Saya adalah alamat yang tepat
karena pertolongan tangan Tuhan," pikirnya. Sampai akhirnya lelaki itu
memutuskan untuk sembahyang malam. Minta petunjuk dan perlindungan Tuhan. Semua
daftar kesulitan hidup yang dialaminya selama ini, dibeberkannya kepada Tuhan
tanpa ada yang tertinggal. Seolah-olah selama ini Tuhan telah melupakannya.
Tapi malu-malu ia katakan kepada Tuhan bahwa ia telah menjual mobil bututnya
untuk membantu kehidupan keluarganya, seorang istri dan tiga orang anak yang
sedang butuh biaya tinggi untuk pendidikan.
Tanpa malu-malu diadukannya juga
kepada Tuhan bahwa telah hampir dua puluh tahun bekerja sebagai dosen
pemerintah, gajinya tetap saja tidak cukup, bahkan selalu hidup dengan
berutang. Di depan Tuhan ia juga menjelek-jelekkan pemerintah Indonesia yang
telah memutus beasiswa S3 nya setelah melebihi masa studi tujuh semester. Oleh
karena itu, istrinya terpaksa membuka warung di rumah, di bilangan kompleks
perumahan sederhana di pinggir Kota Bandung dengan modal hasil penjualan mobil
bututnya itu. Padahal dulu, sewaktu ia mendapatkan beasiswa S2 di Australia,
justru ia bisa membeli mobil setelah selesai kuliah. Bahkan ia hidup dengan
keluarganya di sana
dengan bahagia.
Selama studi dua tahun di Australia
, ia juga diangkat menjadi tutor untuk kelas bahasa Indonesia dengan tambahan
uang saku yang menguntungkan. Sekarang
di Jakarta , ia
kasak-kusuk mencari universitas swasta yang mau memakai tenaganya. Untunglah,
berkat pertolongan teman-teman, lelaki itu dapat mengajar tiga hari seminggu di
dua universitas sekadar cukup untuk menutup biaya hidup di Jakarta sambil menyelesaikan disertasi
doktornya yang selalu tertunda. Tapi, itu penuh perjuangan. Bergulat dengan
angkutan kota
yang berjubel, dihadang macet dan serbuan tukang ngamen dan pencopet tiap hari.
Malam itu, ia berencana akan
mencoba menguji menggunakan uang kardus itu esok pagi. Mula-mula, ia berniat ke
warung dekat rumah kos membeli sabun, rokok, mi instan, biskuit, kopi, gula,
dan tissu. Lalu, berangkat lebih awal mengajar naik taksi agar dapat menikmati
angkutan nyaman tanpa berdesakan. Sehabis mengajar, berencana menggunakan uang lima puluhan itu untuk membeli kaus kaki, ikat pinggang,
celana dalam dan singlet di kaki lima
yang biasanya digelar di halte pinggir jalan. Jelas lelaki itu tidak berani
membelanjakannya di supermarket atau mal yang biasanya tiap kasir memiliki
mesin penguji uang palsu. Apalagi berniat menyimpannya di bank.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar