daun

Selasa, 14 Mei 2013

telaah naskah drama panjang



Gejolak Psikologi Cokro dalam naskah Drama Dag Dig Dug

 Keadaan psikologi  yang tergambar dalam naskah drama panjang berjudul dag dig dug . Naskah drama yang terkenal sulit inipun merupakan salah satu PR besar bagi apresiator, banyak nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sehinggga membuat apresiator harus lebih memutar otak karenanya setelah berpikir keras Apresiator akhirnya menjatuhkan pilihan untuk mengulas tentang sosok pemeran pembantu dalam naskah tersebut, Peran pembatu dalam sebuah karya sastra selalu saja berstigma negatif. Cokro adalah namanya dalam naskah ini Cokro  mendapat peran pembantu dan menjadi ‘pembantu’ namun dalam posisis dan situasi yang berbeda.
Cokro  adalah seorang wanita yang memiliki kesabaran hampir setingkat dewa kutipan (1,3,6,7). Seorang pembantu yang sangat setia dalam menjalankan tugasnya, Cokro juga tidak segan-segan untuk mengorbankan apapun demi majikannya segala kesabaran dan ketulusan Cokro itu sayangnya hanya dianggap sebelah mata(3,12,13,24) oleh majikannya. Majikan Cokro adalah sepasang suami istri yang tinggal dalam sebuah rumah yang disediakan sebagai tempat kost.
Majikan Cokro adalah pencerminan manusia yang tamak dan mudah digelapkan oleh iming-iming materi. Selain sifat yang tamak akan hal-hal duniawi kedua majikan Cokro termasuk orang-orang yang pelupa terlebih ketika usia senja mulai mengelayuti mereka, sepasang suami istri itu mulai pikun  dan tak lagi mampu mengingat banyak hal dan fakta yang tentu merepotkan pembantu semata wayang mereka(32,34,39,41,42,43), siapa lagi kalau bukan Cokro namun sosok lemah itu sangat mencintai majikannya Cokro tak sekalipun pernah menghindar dari tugas dan juga tak pernah terbesit dalam pikirannya untuk meninggalkan majikan-majikan tempatnya bekerja meski ia sebenarnya sangat tertekan dengan tingkah orang-orang yang tinggal serumah dengannya.
Meskipun selama ini hanya diam, dalam relung jiwanya ia telah terluka. Sosok pembantu dengan kekuatan kesabaran melebihi batas pembatu pada umumnya ini terlihat murka ketika sesuatu yang sangat menyinggungnya itu menampakkkan diri, sisi sensitifitas seorang perempuan teraniaya ini menyeruak keluar(53,54,55,56,72,75). Cokropun tak mampu menahan amarah yang dipendam selama bertahun-tahun mengabdi di keluarga majikan yang bahkan tak memberi haknya secara layak itu(132).
Amarah yang meletup itu membuat keberanian dan rasa taksegan Cokro muncul menghalangi sisi segan dan sungkan juga penurut yang selama ini mejadi cerminan diri perempuan tua itu, usia Cokro sudah semakin menua entah apa alasan sebenarnya untuk bertahan dalam keluarga itu selain kasih sayang yang juga diberikan secara perhitungan oleh majikan Cokro, mungkin karena Cokro yang tidak punya pekerjaan lain selain menjadi pembantu di rumah itu, mungkin juga kerena Cokro yang tidak memiliki keluarga itu merasa tidak benar-benar sendiri ketika berada dalam lingkungan keluarga majikannya.
Hal yang sangat menarik untuk diulas adalah isi hati Cokro yang ingin dilukisnya agar kedua majikannya itu menyadari banyak hal yang telah mereka lupakan dan mereka lakukan itu salah, dan perempuan tua yang berperan sebagai ‘pembantu’ itu mampu menujukkan eksistensialismenya dan mampu membuatnya berani membela diri mungkin juga pembelaan terhadap dirinya itu dipicu kuat oleh kelakuan majikan-majikannya(87,89,102,105,118,120,123,132,133)
Kutipan
1 ISTRI: Cokrooo!!! Cokroooo! (kedengaran jawaban dari jauh). Ayamnya dikasih makan!( jawaban: yaaaa!) Jagonya dikurung lagi?(jawabannya:ya!) Bak kamar mandi dicuci sekarang mumpung belum dipakai!!!!(jawaban:yaaaaa) berapa?(berteriak lagi) apa? ya!)
3. ISTRI : Rasain rasain, kalau memang tidak takut. Cokroooooo! Cokrooooo(tidak ada jawaban) panggil Pak Ibrahim
6. COKRO: (Suaranya saja). Jadi panggil Pak Ibrahim tidak?
7. SUAMI: Kamu masih disitu. Pergi.pergi
12. ISTRI: Cokro sudah mulai suka membangkang sekarang! Apa!
13.  ISTRI: Suka membangkang sekarang!
24. SUAMI: Ini pasti Cokrooo, Kroooo! Cokroooo! Cokroooooo!
32. ISTRI: Cokro! Cokro!
34. ISTRI: Betul Ibrahim sudah  membangun?
39. ISTRI :Ya Ibrahim, siapa lagi! Dia bilang apa?
40. COKRO: Ya bilang ngukur tanah
41. ISTRI: Jadi dia betul ngukur tanah?
42. COKRO: Entah!
43. ISTRI : Bodo! Kalau dia bilang ya,ya,ya. Ya!
50. COKRO: (menjauh) Ngomong salah, tidak ngomong juga salah gimana..
53. Adegan Cokro yang tak pernah kelihatan itu sekarang membawa serbet, kebut, sapu dan sebagainya alat-alat untuk membersihkan. Ia melemparkan alat itu ketengah ruangan satu persatu. Kemudian ia muncul. Cokro seorang perempuan yang tua juga. Menderita tapi keras kepala. Tubuhnya masih gesit karena setiap hari bekerja berat. Ia memperhatiakan batu marmar dan peti mati itu dengan mengejek
54. Cokro: (ia ngelap peti mati itu) Hhhh! Hhhh! Dibersihkan tiap hari barangnya, rumahnya masih saja kurang. Ngomel-ngomel saban hari. Bertengkar dari pagi buta sampai ke tempat tidur, tidak ada habis-habisnya sampai levet kuping ini dengar… Aku(tak jelas)
55. Cokro meangis di peti mati itu. Sambilbicara tak jelas.
56. COKRO: (ngomong sendiri menirukan ISTRI) Dia tidak akan masuyk hitungan! Orang tidak normal! Orng normal kalau sakit di kamar. Diakalau sakit mandi. Payah membelikan obat yang dikasih Cuma pantantnya… kalau ada apa-apa yang repot ini kita semua. Semua jadi terlantar. Satu orang sakit yang lain jadi ikut merasakan(menirukan SUAMI).dikiranya aku ini…(tersedu-sedu)
63. Cokro membaca doa dan mengatasi suasana. Istri mengisak-isak disamping peti mati
            72. SUAMI: Kalau aku laki Cokro kueberi ia sawah bukan peti kosong!
75. COKRO: (suara saja) Hura! Hura! Ini makan ini ! Jangan kesitu ! Hura ! Serahkan ini ! Hura ! Bodo ! Jangan ganggu itu ! hura ! Aduuuuhhh! Hura !
 87: COKRO: Biar bodo, biar edan yang mengurus semua di sini SIAPA! (tidak begitu keras suaranya tapi menantang. Suami istri itu tidak mendengarnya asyik memperhatikan langit pura-pura tak mendengar)
89. COKRO: Dibiarkan makin kurang ajar ! yang edan siapa! Yang bodo siapa ! (ia masuk kebelakang tapi suaranya masih cukup kedengaran). Maunya saja yang dipakai. Bayar juga tidak! Dilayani, ditolong malah menginjak-injak. Memangnya apa. orang mencuri-curi malah dikasih rumah, dikasih sawah. Aku saban hari sampai lecet, sampai besok makannya tahi di sini Cuma jadi sasaran.
102. Cokro muncul dengan tenang tapi menahan amarah
105. COKRO: (memotong). Kok tiba-tiba marah seperti itu Siapa yang ngambil buku?
118. COKRO : Lancang ! pencuri ! Carikan polisi kalau memang salah. Orang kerja baik-baik dimaki-maki. Dituduh ! Aku tidak oernah mencuri ! (menangis)
120 SUAMI : Menangis kalau ketahuan ! kurang ajar!
123.COKRO: sumpah ! sumpah! Carikan polisi kalau aku memang pencuri! Jangan menuduh-nuduh, aku tika kuat lagi aku sudah sakit… (tidak jelas apa yang dikatakannya)
132. COKRO: (dari kejauhan) Aku tidak minta sawah! aku mau pulang!
133. COKRO: (dari kejauhan). Siapa edan! Orang baik-baik dituduh mencuri dituduh lancang, siapa yang lancang, siapa yang edan disini.
134. COKRO: (dari kejauhan) Aku tidak minta, siapa yang janji dulu, aku tidak nagih kok marah, kalap, malu sekarang! Menuduh pencuri, lancang, kurang ajar, siapa?








Sinopsis

Dalam sebuah naskah drama tiga babak dengan panjang halaman sekitar  83 halaman lebih dengan judul dag dig dug  karya Putu Wijaya sekilas Nampak asyik. Naskah darama ini berkisah tentang sebuah keluarga kecil yang terdiri atas Suami Isteri dan seorang pembantu bernama Cokro, pembantu ini adalah pembantu yang setia mengabdi pada kedua majikannya. Sepasang Suami Istri itu memiliki gagasan panjang yang sebenarnya baik namun terkesan aneh, yakni sejak jauh hari mereka yang perhitungan ini telah dengan saksama menghitung biaya pemakamkan mereka kelak.
Suami Istri Ini bahkan telah membeli berbagi keperluan seperti marmar, dan peti mati, mereka juga telah mendesain makam dan menyewa tukang selain itu mereka juga sudah menjual rumah yang saat ini masih ditempati mereka dengan syarat jika mereka sudah meninggal rumah itu baru boleh ditempati walaupun angsuran pembelian rumah sudah lunas.
Mereka takut tak ada yang mau mengurus jenazah mereka, secara tidak langsung mereka melupakan kehadiran Cokro yang sangat setia kepada mereka berdua. Sepasang suami Istri ini semakin lama semakin tua dan pikun mereka segera mengaharapkan kematian namun kematian tak jua cepat mendatangi mereka, semakin lama semakin mereka jenuh dan berubah menjadi semakin ringkih, begitupun dengan sosok Cokro yang juga berubah selain semakin tua secara fisik. Cokro semakin lama semakin tak paham dan tak tahan dengan sikap majikannya itu namun Cokro yang setia masih juga bertahan dalam keluarga yang tidak dapat dikatakan normal.
Cokro sendiri selama tinggal bersama Suami Istri itu harus sangat menekan egonya dan Cokro telah berhasil selama beberapa tahun ia menerima banyak hal negatif terkait dengan perlakuan pasangan itu, ketika akhirnya menyerah kalah pada jiwanya yang lelah tertekan, ketika sudah sama-sama panas pasangan itu dan Cokro tak dapat saling pendam, muncul pertengkaran yang berakhir pada kemenangan Cokro dalam hati Cokro merasa menang namun juga merasa takut karena harus memasukkan pasangangan itu kedalam peti mati dan menungguinya, hati Cokropun bernyanyi dag dig dug, entah dengan nada riang atau duka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar