Gejolak
Psikologi Cokro dalam naskah Drama Dag Dig Dug
Keadaan psikologi yang tergambar dalam naskah drama panjang berjudul
dag dig dug . Naskah drama yang
terkenal sulit inipun merupakan salah satu PR
besar bagi apresiator, banyak nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sehinggga
membuat apresiator harus lebih memutar otak karenanya setelah berpikir keras
Apresiator akhirnya menjatuhkan pilihan untuk mengulas tentang sosok pemeran pembantu
dalam naskah tersebut, Peran pembatu dalam sebuah karya sastra selalu saja berstigma
negatif. Cokro adalah namanya dalam naskah ini Cokro mendapat peran pembantu dan menjadi ‘pembantu’
namun dalam posisis dan situasi yang berbeda.
Cokro
adalah seorang wanita yang memiliki
kesabaran hampir setingkat dewa kutipan (1,3,6,7). Seorang pembantu yang sangat
setia dalam menjalankan tugasnya, Cokro juga tidak segan-segan untuk
mengorbankan apapun demi majikannya segala kesabaran dan ketulusan Cokro itu
sayangnya hanya dianggap sebelah mata(3,12,13,24) oleh majikannya. Majikan
Cokro adalah sepasang suami istri yang tinggal dalam sebuah rumah yang disediakan
sebagai tempat kost.
Majikan
Cokro adalah pencerminan manusia yang tamak dan mudah digelapkan oleh
iming-iming materi. Selain sifat yang tamak akan hal-hal duniawi kedua majikan
Cokro termasuk orang-orang yang pelupa terlebih ketika usia senja mulai
mengelayuti mereka, sepasang suami istri itu mulai pikun dan tak lagi mampu mengingat banyak hal dan fakta
yang tentu merepotkan pembantu semata wayang mereka(32,34,39,41,42,43), siapa
lagi kalau bukan Cokro namun sosok lemah itu sangat mencintai majikannya Cokro
tak sekalipun pernah menghindar dari tugas dan juga tak pernah terbesit dalam
pikirannya untuk meninggalkan majikan-majikan tempatnya bekerja meski ia
sebenarnya sangat tertekan dengan tingkah orang-orang yang tinggal serumah
dengannya.
Meskipun
selama ini hanya diam, dalam relung jiwanya ia telah terluka. Sosok pembantu
dengan kekuatan kesabaran melebihi batas pembatu pada umumnya ini terlihat
murka ketika sesuatu yang sangat menyinggungnya itu menampakkkan diri, sisi
sensitifitas seorang perempuan teraniaya ini menyeruak keluar(53,54,55,56,72,75).
Cokropun tak mampu menahan amarah yang dipendam selama bertahun-tahun mengabdi
di keluarga majikan yang bahkan tak memberi haknya secara layak itu(132).
Amarah
yang meletup itu membuat keberanian dan rasa taksegan Cokro muncul menghalangi
sisi segan dan sungkan juga penurut yang selama ini mejadi cerminan diri
perempuan tua itu, usia Cokro sudah semakin menua entah apa alasan sebenarnya untuk
bertahan dalam keluarga itu selain kasih sayang yang juga diberikan secara
perhitungan oleh majikan Cokro, mungkin karena Cokro yang tidak punya pekerjaan
lain selain menjadi pembantu di rumah itu, mungkin juga kerena Cokro yang tidak
memiliki keluarga itu merasa tidak benar-benar sendiri ketika berada dalam
lingkungan keluarga majikannya.
Hal
yang sangat menarik untuk diulas adalah isi hati Cokro yang ingin dilukisnya
agar kedua majikannya itu menyadari banyak hal yang telah mereka lupakan dan
mereka lakukan itu salah, dan perempuan tua yang berperan sebagai ‘pembantu’ itu
mampu menujukkan eksistensialismenya dan mampu membuatnya berani membela diri
mungkin juga pembelaan terhadap dirinya itu dipicu kuat oleh kelakuan majikan-majikannya(87,89,102,105,118,120,123,132,133)
Kutipan
1 ISTRI:
Cokrooo!!! Cokroooo! (kedengaran jawaban dari jauh). Ayamnya dikasih makan!(
jawaban: yaaaa!) Jagonya dikurung lagi?(jawabannya:ya!) Bak kamar mandi dicuci
sekarang mumpung belum dipakai!!!!(jawaban:yaaaaa) berapa?(berteriak lagi) apa?
ya!)
3. ISTRI
: Rasain rasain, kalau memang tidak takut. Cokroooooo! Cokrooooo(tidak ada
jawaban) panggil Pak Ibrahim
6. COKRO:
(Suaranya saja). Jadi panggil Pak Ibrahim tidak?
7.
SUAMI: Kamu masih disitu. Pergi.pergi
12.
ISTRI: Cokro sudah mulai suka membangkang sekarang! Apa!
13. ISTRI: Suka membangkang sekarang!
24. SUAMI:
Ini pasti Cokrooo, Kroooo! Cokroooo! Cokroooooo!
32.
ISTRI: Cokro! Cokro!
34.
ISTRI: Betul Ibrahim sudah membangun?
39.
ISTRI :Ya Ibrahim, siapa lagi! Dia bilang apa?
40.
COKRO: Ya bilang ngukur tanah
41.
ISTRI: Jadi dia betul ngukur tanah?
42.
COKRO: Entah!
43.
ISTRI : Bodo! Kalau dia bilang ya,ya,ya. Ya!
50.
COKRO: (menjauh) Ngomong salah, tidak ngomong juga salah gimana..
53.
Adegan Cokro yang tak pernah kelihatan itu sekarang membawa serbet, kebut, sapu
dan sebagainya alat-alat untuk membersihkan. Ia melemparkan alat itu ketengah
ruangan satu persatu. Kemudian ia muncul. Cokro seorang perempuan yang tua
juga. Menderita tapi keras kepala. Tubuhnya masih gesit karena setiap hari
bekerja berat. Ia memperhatiakan batu marmar dan peti mati itu dengan mengejek
54. Cokro:
(ia ngelap peti mati itu) Hhhh! Hhhh! Dibersihkan tiap hari barangnya, rumahnya
masih saja kurang. Ngomel-ngomel saban hari. Bertengkar dari pagi buta sampai
ke tempat tidur, tidak ada habis-habisnya sampai levet kuping ini dengar…
Aku(tak jelas)
55.
Cokro meangis di peti mati itu. Sambilbicara tak jelas.
56.
COKRO: (ngomong sendiri menirukan ISTRI) Dia tidak akan masuyk hitungan! Orang
tidak normal! Orng normal kalau sakit di kamar. Diakalau sakit mandi. Payah
membelikan obat yang dikasih Cuma pantantnya… kalau ada apa-apa yang repot ini
kita semua. Semua jadi terlantar. Satu orang sakit yang lain jadi ikut
merasakan(menirukan SUAMI).dikiranya aku ini…(tersedu-sedu)
63. Cokro
membaca doa dan mengatasi suasana. Istri mengisak-isak disamping peti mati
72. SUAMI: Kalau aku laki Cokro kueberi
ia sawah bukan peti kosong!
75.
COKRO: (suara saja) Hura! Hura! Ini makan ini ! Jangan kesitu ! Hura ! Serahkan
ini ! Hura ! Bodo ! Jangan ganggu itu ! hura ! Aduuuuhhh! Hura !
87: COKRO: Biar bodo, biar edan yang mengurus
semua di sini SIAPA! (tidak begitu keras suaranya tapi menantang. Suami istri
itu tidak mendengarnya asyik memperhatikan langit pura-pura tak mendengar)
89.
COKRO: Dibiarkan makin kurang ajar ! yang edan siapa! Yang bodo siapa ! (ia
masuk kebelakang tapi suaranya masih cukup kedengaran). Maunya saja yang
dipakai. Bayar juga tidak! Dilayani, ditolong malah menginjak-injak. Memangnya apa.
orang mencuri-curi malah dikasih rumah, dikasih sawah. Aku saban hari sampai lecet,
sampai besok makannya tahi di sini Cuma jadi sasaran.
102.
Cokro muncul dengan tenang tapi menahan amarah
105.
COKRO: (memotong). Kok tiba-tiba marah seperti itu Siapa yang ngambil buku?
118.
COKRO : Lancang ! pencuri ! Carikan polisi kalau memang salah. Orang kerja
baik-baik dimaki-maki. Dituduh ! Aku tidak oernah mencuri ! (menangis)
120
SUAMI : Menangis kalau ketahuan ! kurang ajar!
123.COKRO:
sumpah ! sumpah! Carikan polisi kalau aku memang pencuri! Jangan menuduh-nuduh,
aku tika kuat lagi aku sudah sakit… (tidak jelas apa yang dikatakannya)
132.
COKRO: (dari kejauhan) Aku tidak minta sawah! aku mau pulang!
133.
COKRO: (dari kejauhan). Siapa edan! Orang baik-baik dituduh mencuri dituduh lancang,
siapa yang lancang, siapa yang edan disini.
134.
COKRO: (dari kejauhan) Aku tidak minta, siapa yang janji dulu, aku tidak nagih
kok marah, kalap, malu sekarang! Menuduh pencuri, lancang, kurang ajar, siapa?
Sinopsis
Dalam
sebuah naskah drama tiga babak dengan panjang halaman sekitar 83 halaman lebih dengan judul dag dig dug karya Putu Wijaya sekilas Nampak asyik. Naskah
darama ini berkisah tentang sebuah keluarga kecil yang terdiri atas Suami
Isteri dan seorang pembantu bernama Cokro, pembantu ini adalah pembantu yang
setia mengabdi pada kedua majikannya. Sepasang Suami Istri itu memiliki gagasan
panjang yang sebenarnya baik namun terkesan aneh, yakni sejak jauh hari mereka
yang perhitungan ini telah dengan saksama menghitung biaya pemakamkan mereka
kelak.
Suami
Istri Ini bahkan telah membeli berbagi keperluan seperti marmar, dan peti mati,
mereka juga telah mendesain makam dan menyewa tukang selain itu mereka juga
sudah menjual rumah yang saat ini masih ditempati mereka dengan syarat jika
mereka sudah meninggal rumah itu baru boleh ditempati walaupun angsuran
pembelian rumah sudah lunas.
Mereka
takut tak ada yang mau mengurus jenazah mereka, secara tidak langsung mereka
melupakan kehadiran Cokro yang sangat setia kepada mereka berdua. Sepasang
suami Istri ini semakin lama semakin tua dan pikun mereka segera mengaharapkan
kematian namun kematian tak jua cepat mendatangi mereka, semakin lama semakin
mereka jenuh dan berubah menjadi semakin ringkih, begitupun dengan sosok Cokro
yang juga berubah selain semakin tua secara fisik. Cokro semakin lama semakin
tak paham dan tak tahan dengan sikap majikannya itu namun Cokro yang setia
masih juga bertahan dalam keluarga yang tidak dapat dikatakan normal.
Cokro
sendiri selama tinggal bersama Suami Istri itu harus sangat menekan egonya dan
Cokro telah berhasil selama beberapa tahun ia menerima banyak hal negatif terkait
dengan perlakuan pasangan itu, ketika akhirnya menyerah kalah pada jiwanya yang
lelah tertekan, ketika sudah sama-sama panas pasangan itu dan Cokro tak dapat
saling pendam, muncul pertengkaran yang berakhir pada kemenangan Cokro dalam
hati Cokro merasa menang namun juga merasa takut karena harus memasukkan
pasangangan itu kedalam peti mati dan menungguinya, hati Cokropun bernyanyi dag
dig dug, entah dengan nada riang atau duka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar